Kamera 1
Rabu, 12 Juni 2013
Jumat, 07 Juni 2013
Spiritualitas Ibadat Harian
Kita
telah melihat sejarah Ibadat Harian, berdoa dalam irama waktu tertentu.
Dan kini kita mencoba merangkum nilai spiritualitas Ibadat Harian
tersebut :
Doa Ibadat Harian adalah Doa Penyucian Waktu.
Secara harfiah Ibadat harian berarti ibadat Waktu, ibadat menurut irama waktu. Maksudnya ialah agar pada saat-saat tertentu – pagi, siang, sore, sebelum tidur – si pendoa mempersatukan diri dengan Kristus, Sang Pendoa, dalam ibadat pujian dan permohonan. Berdasarkan tradisi kristiani yang telah beradab-abad umurnya, Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh waktu dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah (SC 84). Waktu adalah milik Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Di dalam waktu manusia ada, dan berkarya. Dalam waktu kita bergumul, bergulat antara kebaikan dan kejahatan. Waktu yang dianugerahkan Allah kerap tercemari oleh dosa-dosa kita, silih dan pemulihan perlu dilakukan sembari memohon kekuatan Tuhan untuk menhidupi waktu.
Sebagaimana telah kita lihat, jejak doa penyucian waktu ini sangat menonjol baik dalam Perjanjian Lama (bdk mzm 5, 88, 119, Kel 29:38-39, dll) – maupun dalam Perjanjian Baru (bdk Kis10:3, 9; 16:25, etc; Kis 10:9-49 ; Kis 4:23-30) sebagai penerusan tradisi Judaime yang “dikristenkan” oleh Jemaat Perdana. (Bdk 1 Tes 1:2; Kol 3:16-17; Ef 5:18-20; Flp 2:6-11). Jadi bukan “rekayasa” Gereja Katolik.
Nasehat Kristus agar kita selalu berdoa tanpa kendur (Luk 18:1) ditanggapi Gereja dengan setia melalui perayaan Ekaristi sebagai puncak doanya dan dalam ibadat-ibadat bersama serta devosi-devosi yang dipanjatkan oleh seluruh umat beriman. Dan terlebih dalam Doa Ibadat Harian – yang di antara upacara-upacara liturgi lainnya, menurut tradisi Kristen – mempunyai kekhususan untuk menyucikan seluruh lingkaran hari dan malam (SC 83-84).
Dengan demikian seluruh karya umat beriman disucikan oleh dan bagi Allah melalui Ibadat Harian :
“Pendarasan Ibadat Harian, sedapat mungkin hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan hidup dan doa pribadi sehingga seperti yang diberikan dalam Instruksi Umum, ritme dan melodi hendaknya digunakan, dan bentuk-bentuk perayaan supaya dipilih yang lebih sesuai dengan kebutuhan rohani dari mereka yang mendoakannya. Jika doa Ofisi ilahi menjadi doa yang sungguh-sungguh bersifat pribadi maka hubungan antara liturgi dan seluruh hidup kristiani menjadi lebih jelas. Seluruh hidup orang beriman, dari saat ke saat, siang maupun malam, menjadi semacam leitourgia atau kebaktian umum, dalam mana kaum beriman menyerahkan diri untuk pelayanan kasih kepada Allah dan sesama, dengan menyatukan diri mereka pada tindakan Kristus, yang melalui hidup-Nya dan pengorbanan diri-Nya menguduskan hidup seluruh umat manusia” (Bina Liturgia 2F : Konstitusi Apostolik "Madah Pujian" dan Pedoman Ibadat Harian)
Ibadat Harian Sebagai Doa Kristus : Kristus Berdoa Kepada Bapa
Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelma mengambil kodrat manusia, datang ke dunia sebagai imam perjanjian baru dan kekal. Dalam hati Kristus, pujian kepada Allah menggema dan terungkap dalam bahasa manusia sebagai sembah sujud, pemulihan dan doa permohonan atas nama dan demi kepentingan semua orang.
Injil suci kerap kali mengisahkan Yesus sedang berdoa : tatkala perutusanNya diumumkan oleh Bapa (Luk 3:21-22), sebelum Dia memanggil para rasul (Luk 6:12), tatkala membagi-bagikan roti (Mat 4: 19, 15:36, dll), saat penampakkan diriNya di atas gunung (Luk 9:28-29), ketika menyembuhkan orang bisu tuli (Mrk 7:34), saat menghidupkan kembali Lazarus (Yoh 11:41,dst), sebelum menerima pengakuan Petrus (Luk 9:18), ia mengajar para murid berdoa (Luk 11:1), ketika para murid kembali dari tugas mereka (Mat 11:25), ketika memberkati anak-anak (Mat 19:13), Ia berdoa untuk Petrus (Luk 22:32).
Hidup Yesus sehari-hari selalu berhubungan erat dengan doa – bahkan mengalir daripadanya: Ia pergi ke padang gurun atau menyendiri di atas gunung untuk berdoa (Mrk 1:35, Luk 5:16 lih Mat 4:1, Mat 14:23), ketika Ia bangun pagi-pagi benar (Mrk 1:35) atau berjaga sampai larut malam (Mat 14:23.25 ; Mrk 6:46,dst). Yesus pun menghargai “kebiasaan” (baca: tradisi) doa bersama di rumah ibadat pada hari Sabat (Luk 4:16) dan juga di kenisah yang disebutNya sebagai rumah doa (Mat 21:13). Dan tentunya, Ia juga melakukan doa-doa pribadi setiap hari menurut kebiasaan orang Israel : pada perjamuan makan (Mat 14:19 ; 15:36), pada perjamuan terakhir (Mat 26:26) pada perjamuan di Emaus (Luk 24:30) – begitu pun dia mengucapkan madah bersama para murid (Mat 26:30). Bahkan hingga akhir hidupNya, ketika sengsara mendekat (Yoh 12:27,dst), saat sakratul maut (mat 26:36-44), ketika meregang nyawa di kayu salib (Luk 23:34-36 ; Mat 27:46; Mrk 15:34) – Ia tetap berdoa.
Yesus menunjukkan bahwa doa menjiwai seluruh tugas pelayananNya sebagai Almasih sampai wafat dan kebangkitanNya. Dan kemudian setelah bangkit dari alam maut, Ia hidup dan berdoa untuk kita selamanya (Ibr 7:25).
Ibadat Harian Sebagai Doa Gereja : Gereja Melanjutkan Doa Kristus dalam Roh Kudus
Doa yang dipanjatkan Yesus tersebut dilanjutkan oleh Gereja dalam Roh Kudus, Roh Kristus sendiri. Dalam Ibadat harian, Gereja melaksanakan tugas imamat Kristus dan tak henti-hentinya menyampaikan kepada Allah kurban pujian, yaitu ucapan mulut untuk kemuliaan nama Allah (Ibr 13:15). Doa Ibadat Harian merupakan “suara mempelai, yang berbicara dengan pengantinnya”, bahkan merupakan doa Kristus bersama tubuhNya kepada Bapa (SC 84). Jadi semua orang yang merayakan Ibadat Harian, melaksanakan tugas Gereja dan sekaligus mengambil bagian dalam kehormatan mempelai Kristus, sebab dalam memuji Allah, mereka berdiri di depan tahta Allah atas nama ibu Gereja. (SC 71).
Dengan menyampaikan pujian kepada Allah dalam Ibadat Harian, Gereja menggabungkan diri pada pujian yang dinyanyikan di surga sepanjang masa (SC 83). Dan sekaligus Gereja sudah menikmati pujian surgawi yang dilukiskan dalam Kitab Wahyu, yang dengan tak henti-hentinya menggema di depan tahta Allah dan Anak Domba. Dengan berdoa, hubungan kita dengan Gereja Surgawi menjadi nyata, yaitu apabila “kita bersama-sama melagukan pujian Allah yang mahaagung dengan gembira, dan apabila kita semua dari segala suku, bahasa dan bangsa, yang telah ditebus dalam darah Kristus (Lih. WHY 5:9) dan dihimpunkan dalam satu Gereja, Memuliakan Allah Tritunggal dengan satu lagu pujian” (LG 50; bdk. SC 8 dan 104).
Gereja mengantar manusia kepada Kristus, bukan hanya dengan cinta kasih, teladan dan karya tobat, melainkan juga dengan doanya (lih. PO 6). Dengan demikian cara hidup Gereja mengungkapkan dan memaklumkan kepada orang-orang lain “misteri Kristus dan hakikat Gereja yang sebenarnya, yaitu sebagai Gereja yang tampak namun penuh dengan anugerah yang tak tampak, yang sangat aktif namun juga kontemplatif, yang berada di tengah-tengah dunia namun juga dalam perjalanan”. (SC 2). Dan semua doa serta permohonan yang haturkan ini bukan hanya seruan Gereja, melainkan juga suara Kristus, sebab doa-doa itu diucapkan atas Nama Kristus, yaitu “demi Yesus Kristus, Tuhan dan Pengantara kita”.
Ibadah harian disusun sedemikian rupa sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah, kegiatan ini dilaksanakan oleh para Imam, orang lain yang atas ketetapan gereja maupun umat beriman (bdk SC 84). Maka dari itu, semua yang mendoakan Ibadah Harian menunaikan tugas gereja, dan ikut serta dalam kehormatan tertinggi mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan tahta Allah atas nama Bunda Gereja (SC 85).
Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja, Ibadah Harian menjadi sumber kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua orang lain yang ikut mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan, supaya dalam melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa yang mereka ucapkan. Supaya itu tercapai dengan lebih baik, hendaknya mereka mengusahakan pembinaan yang lebih mendalam tentang Liturgi dan Kitab Suci, terutama mazmur-mazmur (SC 90).
Dengan memanjatkan ibadah harian kita menunjukkan wajah Gereja yang berdoa. Doa-doa dalam ibadah harian adalah doa-doa yang diinspirasikan dari Roh Kudus, karena berasal dari teks kitab suci, khususnya Mazmur Daud.
Ibadah Harian merupakan suatu tugas kehormatan, dimana kita [saya dan anda] bersama-sama dengan seluruh Gereja memanjatkan doa di hadapan Tahta Allah (bdk SC 85).
Ibadat Harian adalah Doa Alkitabiah : Berdoa dengan Kitab Suci.
Doa Ibadat Harian merupakan doa yang bersumber dari Kitab Suci (Biblis – alkitabiah) – bahkan bisa dikatakan doa Ibadat Harian adalah berdoa dengan Kitab Suci. “Orang-orang yang melaksanakan Ibadat Harian memperoleh kesucian yang berlimpah dari liturgi itu berkat daya Sabda Allah yang menduduki tempat utama di dalamnya. Sebab bacaan-bacaan dikutip dari Kitab Suci, Sabda Allah yang tertera dalam mazmur-mazmur dinyanyikan di hadapan Allah, dan berkat ilham dan dorongan allah, doa-doa lainnya serta madah-madah diluapkan” (SC 24).
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Doa Ibadat Harian adalah Doa Penyucian Waktu.
Secara harfiah Ibadat harian berarti ibadat Waktu, ibadat menurut irama waktu. Maksudnya ialah agar pada saat-saat tertentu – pagi, siang, sore, sebelum tidur – si pendoa mempersatukan diri dengan Kristus, Sang Pendoa, dalam ibadat pujian dan permohonan. Berdasarkan tradisi kristiani yang telah beradab-abad umurnya, Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh waktu dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah (SC 84). Waktu adalah milik Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Di dalam waktu manusia ada, dan berkarya. Dalam waktu kita bergumul, bergulat antara kebaikan dan kejahatan. Waktu yang dianugerahkan Allah kerap tercemari oleh dosa-dosa kita, silih dan pemulihan perlu dilakukan sembari memohon kekuatan Tuhan untuk menhidupi waktu.
Sebagaimana telah kita lihat, jejak doa penyucian waktu ini sangat menonjol baik dalam Perjanjian Lama (bdk mzm 5, 88, 119, Kel 29:38-39, dll) – maupun dalam Perjanjian Baru (bdk Kis10:3, 9; 16:25, etc; Kis 10:9-49 ; Kis 4:23-30) sebagai penerusan tradisi Judaime yang “dikristenkan” oleh Jemaat Perdana. (Bdk 1 Tes 1:2; Kol 3:16-17; Ef 5:18-20; Flp 2:6-11). Jadi bukan “rekayasa” Gereja Katolik.
Nasehat Kristus agar kita selalu berdoa tanpa kendur (Luk 18:1) ditanggapi Gereja dengan setia melalui perayaan Ekaristi sebagai puncak doanya dan dalam ibadat-ibadat bersama serta devosi-devosi yang dipanjatkan oleh seluruh umat beriman. Dan terlebih dalam Doa Ibadat Harian – yang di antara upacara-upacara liturgi lainnya, menurut tradisi Kristen – mempunyai kekhususan untuk menyucikan seluruh lingkaran hari dan malam (SC 83-84).
Dengan demikian seluruh karya umat beriman disucikan oleh dan bagi Allah melalui Ibadat Harian :
“Pendarasan Ibadat Harian, sedapat mungkin hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan hidup dan doa pribadi sehingga seperti yang diberikan dalam Instruksi Umum, ritme dan melodi hendaknya digunakan, dan bentuk-bentuk perayaan supaya dipilih yang lebih sesuai dengan kebutuhan rohani dari mereka yang mendoakannya. Jika doa Ofisi ilahi menjadi doa yang sungguh-sungguh bersifat pribadi maka hubungan antara liturgi dan seluruh hidup kristiani menjadi lebih jelas. Seluruh hidup orang beriman, dari saat ke saat, siang maupun malam, menjadi semacam leitourgia atau kebaktian umum, dalam mana kaum beriman menyerahkan diri untuk pelayanan kasih kepada Allah dan sesama, dengan menyatukan diri mereka pada tindakan Kristus, yang melalui hidup-Nya dan pengorbanan diri-Nya menguduskan hidup seluruh umat manusia” (Bina Liturgia 2F : Konstitusi Apostolik "Madah Pujian" dan Pedoman Ibadat Harian)
Ibadat Harian Sebagai Doa Kristus : Kristus Berdoa Kepada Bapa
Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelma mengambil kodrat manusia, datang ke dunia sebagai imam perjanjian baru dan kekal. Dalam hati Kristus, pujian kepada Allah menggema dan terungkap dalam bahasa manusia sebagai sembah sujud, pemulihan dan doa permohonan atas nama dan demi kepentingan semua orang.
Injil suci kerap kali mengisahkan Yesus sedang berdoa : tatkala perutusanNya diumumkan oleh Bapa (Luk 3:21-22), sebelum Dia memanggil para rasul (Luk 6:12), tatkala membagi-bagikan roti (Mat 4: 19, 15:36, dll), saat penampakkan diriNya di atas gunung (Luk 9:28-29), ketika menyembuhkan orang bisu tuli (Mrk 7:34), saat menghidupkan kembali Lazarus (Yoh 11:41,dst), sebelum menerima pengakuan Petrus (Luk 9:18), ia mengajar para murid berdoa (Luk 11:1), ketika para murid kembali dari tugas mereka (Mat 11:25), ketika memberkati anak-anak (Mat 19:13), Ia berdoa untuk Petrus (Luk 22:32).
Hidup Yesus sehari-hari selalu berhubungan erat dengan doa – bahkan mengalir daripadanya: Ia pergi ke padang gurun atau menyendiri di atas gunung untuk berdoa (Mrk 1:35, Luk 5:16 lih Mat 4:1, Mat 14:23), ketika Ia bangun pagi-pagi benar (Mrk 1:35) atau berjaga sampai larut malam (Mat 14:23.25 ; Mrk 6:46,dst). Yesus pun menghargai “kebiasaan” (baca: tradisi) doa bersama di rumah ibadat pada hari Sabat (Luk 4:16) dan juga di kenisah yang disebutNya sebagai rumah doa (Mat 21:13). Dan tentunya, Ia juga melakukan doa-doa pribadi setiap hari menurut kebiasaan orang Israel : pada perjamuan makan (Mat 14:19 ; 15:36), pada perjamuan terakhir (Mat 26:26) pada perjamuan di Emaus (Luk 24:30) – begitu pun dia mengucapkan madah bersama para murid (Mat 26:30). Bahkan hingga akhir hidupNya, ketika sengsara mendekat (Yoh 12:27,dst), saat sakratul maut (mat 26:36-44), ketika meregang nyawa di kayu salib (Luk 23:34-36 ; Mat 27:46; Mrk 15:34) – Ia tetap berdoa.
Yesus menunjukkan bahwa doa menjiwai seluruh tugas pelayananNya sebagai Almasih sampai wafat dan kebangkitanNya. Dan kemudian setelah bangkit dari alam maut, Ia hidup dan berdoa untuk kita selamanya (Ibr 7:25).
Ibadat Harian Sebagai Doa Gereja : Gereja Melanjutkan Doa Kristus dalam Roh Kudus
Doa yang dipanjatkan Yesus tersebut dilanjutkan oleh Gereja dalam Roh Kudus, Roh Kristus sendiri. Dalam Ibadat harian, Gereja melaksanakan tugas imamat Kristus dan tak henti-hentinya menyampaikan kepada Allah kurban pujian, yaitu ucapan mulut untuk kemuliaan nama Allah (Ibr 13:15). Doa Ibadat Harian merupakan “suara mempelai, yang berbicara dengan pengantinnya”, bahkan merupakan doa Kristus bersama tubuhNya kepada Bapa (SC 84). Jadi semua orang yang merayakan Ibadat Harian, melaksanakan tugas Gereja dan sekaligus mengambil bagian dalam kehormatan mempelai Kristus, sebab dalam memuji Allah, mereka berdiri di depan tahta Allah atas nama ibu Gereja. (SC 71).
Dengan menyampaikan pujian kepada Allah dalam Ibadat Harian, Gereja menggabungkan diri pada pujian yang dinyanyikan di surga sepanjang masa (SC 83). Dan sekaligus Gereja sudah menikmati pujian surgawi yang dilukiskan dalam Kitab Wahyu, yang dengan tak henti-hentinya menggema di depan tahta Allah dan Anak Domba. Dengan berdoa, hubungan kita dengan Gereja Surgawi menjadi nyata, yaitu apabila “kita bersama-sama melagukan pujian Allah yang mahaagung dengan gembira, dan apabila kita semua dari segala suku, bahasa dan bangsa, yang telah ditebus dalam darah Kristus (Lih. WHY 5:9) dan dihimpunkan dalam satu Gereja, Memuliakan Allah Tritunggal dengan satu lagu pujian” (LG 50; bdk. SC 8 dan 104).
Gereja mengantar manusia kepada Kristus, bukan hanya dengan cinta kasih, teladan dan karya tobat, melainkan juga dengan doanya (lih. PO 6). Dengan demikian cara hidup Gereja mengungkapkan dan memaklumkan kepada orang-orang lain “misteri Kristus dan hakikat Gereja yang sebenarnya, yaitu sebagai Gereja yang tampak namun penuh dengan anugerah yang tak tampak, yang sangat aktif namun juga kontemplatif, yang berada di tengah-tengah dunia namun juga dalam perjalanan”. (SC 2). Dan semua doa serta permohonan yang haturkan ini bukan hanya seruan Gereja, melainkan juga suara Kristus, sebab doa-doa itu diucapkan atas Nama Kristus, yaitu “demi Yesus Kristus, Tuhan dan Pengantara kita”.
Ibadah harian disusun sedemikian rupa sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah, kegiatan ini dilaksanakan oleh para Imam, orang lain yang atas ketetapan gereja maupun umat beriman (bdk SC 84). Maka dari itu, semua yang mendoakan Ibadah Harian menunaikan tugas gereja, dan ikut serta dalam kehormatan tertinggi mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan tahta Allah atas nama Bunda Gereja (SC 85).
Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja, Ibadah Harian menjadi sumber kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua orang lain yang ikut mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan, supaya dalam melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa yang mereka ucapkan. Supaya itu tercapai dengan lebih baik, hendaknya mereka mengusahakan pembinaan yang lebih mendalam tentang Liturgi dan Kitab Suci, terutama mazmur-mazmur (SC 90).
Dengan memanjatkan ibadah harian kita menunjukkan wajah Gereja yang berdoa. Doa-doa dalam ibadah harian adalah doa-doa yang diinspirasikan dari Roh Kudus, karena berasal dari teks kitab suci, khususnya Mazmur Daud.
Ibadah Harian merupakan suatu tugas kehormatan, dimana kita [saya dan anda] bersama-sama dengan seluruh Gereja memanjatkan doa di hadapan Tahta Allah (bdk SC 85).
Ibadat Harian adalah Doa Alkitabiah : Berdoa dengan Kitab Suci.
Doa Ibadat Harian merupakan doa yang bersumber dari Kitab Suci (Biblis – alkitabiah) – bahkan bisa dikatakan doa Ibadat Harian adalah berdoa dengan Kitab Suci. “Orang-orang yang melaksanakan Ibadat Harian memperoleh kesucian yang berlimpah dari liturgi itu berkat daya Sabda Allah yang menduduki tempat utama di dalamnya. Sebab bacaan-bacaan dikutip dari Kitab Suci, Sabda Allah yang tertera dalam mazmur-mazmur dinyanyikan di hadapan Allah, dan berkat ilham dan dorongan allah, doa-doa lainnya serta madah-madah diluapkan” (SC 24).
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Doa-doa Harian
Bapak
kita Santo Fransiskus dari Assisi mengajak kita agar senantiasa berdoa:
memuji dan memuliakan Tuhan, menyembah dan bersyukur kepada-Nya,
memohon ampun dan berkat-Nya di mana pun kita berada. Berikut ini adalah
doa-doa yang dapat kita pakai setiap hari, sendiri maupun bersama dalam
keluarga. Dapat juga ditularkan kepada orang lain.
1. Doa Kami Menyembah Engkau
(doa sederhana ini diucapkan ketika memulai setiap ibadat)
Kami menyembah Engkau, Tuhan Yesus Kristus, di sini dan di semua
Gereja-Mu di seluruh dunia, dan kami memuji Engkau, sebab Engkau telah
menebus dunia dengan salib-Mu yang suci.
2. Doa Salib
(untuk mengenang sengsara Tuhan diucapkan sambil berlutut, tangan diangkat, telapak tangan terbuka):
1 x Bapa Kami
1 x Salam Maria
1 x Kemuliaan
(diulang sebanyak 5 kali, doa ini dapat dibuka dan ditutup dengan doa “Kami Menyembah Engkau….” seperti di atas)
3. Ofisi Ilahi/Ibadat Harian
(doa ini diucapkan secara lisan. Dapat diucapkan di tempat mana pun,
sesuai dengan kesibukan masing-masing; dapat juga diucapkan dalam hati,
bila keadaan tidak memungkinkan):
Ibadat Pagi/Laudes
(antara pkl 05:00 - pkl 07:00)
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
I x Aku Percaya, 5 x Bapa Kami, dan 1 Kemuliaan
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
Ibadat Siang
(antara pkl 09.00 - pkl 16.00. Doa ini dapat diucapkan dalam tiga kesempatan, yakni):
Antara jam 09.00 - jam 10.00 (Tertia)
An tam jam 11.00 - jam 12.00 (Sexta)
Antara jam 14.00 - jam 15.00 (Nona)
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
1 x Aku Percaya, 7 x Bapa Kami, dan 1 x Kemuliaan
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
Ibadat Sore/Vesperae
(antara pkl. 17.00 - pkl 20.00)
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
1 x Aku Percaya, 12 x Bapa Kami, dan 1 x Kemuliaan
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
Ibadat Penutup/Completorium
(menjelang tidur atau setelah pkl. 21.00)
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
1 x Aku Percaya, 7 x Bapa Kami, dan 1x Kemuliaan
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
Ibadat Bacaan:
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
1 x Aku Percaya, 24 x Bapa Kami, dan 1 x Kemuliaan
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
4. Doa Waktu Melayat
(atau kapan saja, untuk orang yang meninggal):
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
7 x Bapa Kami
Tuhan berilah dia (mereka) istirahat yang kekal
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
5. Doa mohon ampun atas dosa-dosa
(diucapkan setiap hari)
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
3 x Bapa Kami
Tanda Salib
Doa “Kami Menyembah Engkau….”
dikirim oleh: Alfons S. Suhardi, OFM
Dikutip dari : http://ofm.or.id/ doa-doa-harian/
Bagaimana Mendoakan Ibadat Harian?
(Disarikan
dari : Institutio Generalis de Liturgia Horarum – Konggregasi Ibadat,
Roma 2 Pebruari 1971 – diindonesiakan oleh PWI – Liturgi “Pedoman Ibadat
Harian” – Bab V)
1. Selintas Susunan Doa Ibadat Harian
Semua Ibadat Harian, diawali dengan seruan mazmur 69/70: 2 : “Ya Allah bersegeralah menolong Aku…..” – Kecuali dalam Ibadat Pembukaan (bisa Ibadat Bacaan atau Ibadat Pagi) yang diawali dengan seruan : ”Ya Tuhan sudilah membuka hatiku – supaya mulutku mewartakan pujianMu.” (Mzm 50/51: 17) – dilanjutkan dengan antiphone dan mazmur pembukaan (biasanya mazmur 94/95).
Selanjutnya dilagukan madah dan pendarasan mazmur. Kemudian diikuti dengan pembacaan Kitab Suci dan disambut dengan sebuah seruan lagu singkat. Komponen-komponen lainnya tergantung kepada masing-masing Ibadat yang dirayakan. Dan dalam tiap ibadat, mazmur diawali dan diakhir dengan sebuah antiphone dan ditutup dengan doxology (kemuliaan).
2. Petugas & Sikap Liturgi dalam Ibadat Harian
- Setiap perayaan umat, sebaiknya dipimpin oleh imam atau diakon dan didampingi para petugas lainnya.
- Imam atau diakon yang memimpin bertugas membuka ofisi dengan ayat pembukaan, memulai Bapa Kami, mengucapkan doa penutup, memberi salam kepada umat, memberi berkat dan membubarkan umat. Semua ini dilakukan di tempat duduknya
- Doa-doa permohonan dapat dilakukan oleh imam atau petugas lain
- Apabila tidak ada imam atau diakon yang memimpin, pemimpin ofisi menduduki tempat pertama, tetapi sejajar dengan hadirin lainnya. Ia tidak memasuki ruang imam, tidak memberi salam dan juga tidak memberkati umat.
- Petugas bacaan membawakan dengan berdiri di tempat yang sesuai
- Semua peserta berdiri saat :
• Pembukaan Ofisi
• Madah
• Kidung dari Injil
• Doa permohonan, Bapa Kami dan doa penutup.
- Semua peserta duduk waktu bacaan-bacaan, kecuali bacaan dari Injil
- Waktu mazmur, kidung dan antifon semua duduk atau berdiri tergantung kebiasaan.
3. Tanda Salib
Dalam Ibadat Harian, tanda Salib tidak dilakukan secara harafiah – dalam arti dengan kata-kata “dalam nama Bapa, dst…”. Tanda salib dilakukan bersamaan dengan seruan pembukaan :
- Ibadat Pembuka : “Ya Tuhan sudilah membuka hatiku…..” pada saat bersamaan semua peserta membuat tanda salib kecil di dahi, mulut dan di dada.
- Pembukaan Ibadat Harian yang lain : “Ya Allah bersegeralah menolong aku….dst” pada saat bersamaan semua peserta membuat tanda salib besar seperti biasanya.
Selain itu tanda salib besar juga dilakukan saat Kidung Zakharia, Kidung Maria dan Kidung Simeon – serta pada saat berkat penutup.
4. Pendarasan Mazmur & Bahasa
- Cara pendarasan mazmur tergantung pada pelbagai pertimbangan, misal dari jenis sastra dan panjangnya mazmur, bahasa yang dipakai, jumlah peserta, dan sebagainya.
- Beberapa pendarasan mazmur :
• Didaraskan bersama-sama seluruh hadirin
• Bergantian antara koor dan umat
• Bersahut-sahutan (responsorial) antara umat atau umat dan petugas
- Pada awal mazmur selalu diucapkan antiphon dan pada akhir mazmur ditambahkan “Kemuliaan…. Seperti…” sebagaimana dianjurkan oleh tradisi. Dengan demikian doa Perjanjian Lama diberi nada pujian dan dihubungkan dengan misteri Kristus dan Tritunggal Maha Kudus.
Setelah pendarasan mazmur sebaiknya antiphon diulangi
- Saat hening diantara bagian-bagian mazmur juga sangat dianjurkan sebagai nada sela menghayati apa yang baru didaraskan.
- Dalam perayaan Ibadat Harian, nyanyian tidak boleh dianggap sebagai hiasan atau tambahan belaka. Nyanyian merupakan luapan hati orang yang berdoa dan memuji Allah serta mewujudkan kebersamaan ibadat Kristen dengan sempurna.
- Dalam upacara liturgi yang dinyanyikan dalam bahasa Latin, nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas liturgi Roma, harus diutamakan, kecuali jika ada pertimbangan lain (SC 116)
- Tidak ada jenis musik suci yang ditolak Gereja untuk upacara liturgi, asal selaras dengan semangat upacara liturgi tersebut dan hakikat masing-masing bagiannya dan tidak menghalangi umat untuk ikut berperan serta secara aktif. (MS9 – lih SC 116)
- Ibadat Harian dapat dirayakan dengan bahasa lokal/setempat, “maka hendaknya diciptakan lagu-lagu untuk nyanyian ofisi dalam bahasa lokal” (MS 41 – lih juga 54-61)
- Tidak ada keberatan bahwa bagian yang satu dinyanyikan dalam bahasa yang berbeda dengan bagian lain (MS 51)
Tradisi-tradisi Lain
Dalam beberapa biara atau komunitas religius terdapat tradisi yang patut pula kita pelihara dan ikuti, misalkan tradisi membungkukkan badan dengan khitmat saat pengucapan Kemuliaan kepada Tritunggal Maha Kudus – dalam mendoakan bait terakhir Madah yang bernada Trinitarian, serta di saat mengucapkan kata “Yesus” (misal dalam antiphone Ratu Surga dalam kompletorium)
Kewajiban Mendoakan Ibadat Harian
Dalam Gereja Katolik, praktek ibadat harian dilakukan oleh para imam, diakon dan komunitas-komunitas religius di dalam Gereja. Meski demikian, Konsili Vatikan II (dan anjuran-anjuran setelahnya) juga sangat mendorong bagi para awam secara pribadi maupun bersama-sama menjalankan doa Gereja ini :
- “…. Dianjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan.” (SC100)
- “Menurut asal-usul dan hakikatnya, ibadat harian bukanlah milik khusus para rohaniwan dan rahib saja, melainkan milik umum seluruh umat Kristen” dan atas dasar konstitusi dan peraturan diangkat menjadi “doa resmi Gereja” (Pedoman Ibadat Harian, No.270).
Ibadat Harian bukanlah peninggalan indah masa lalu yang harus dipelihara untuk dikagumi, melainkan gejala hidup umat setempat, penuh daya pembaharuan, pertumbuhan dan kesegaran. Tradisi suci ini perlu kita kembangkan di kalangan hidup rohani umat yang, dewasa ini dibingungkan dengan munculnya aneka devosi atau kegiatan latihan rohani yang relatif baru.
Dalam pelaksanaan ibadat Harian dikalangan umat, yang terpenting ialah jangan sampai perayaan itu menjadi kaku dan dibuat-buat, atau merupakan rutinitas dan formalisme belaka. Jadi harus diusahakan supaya perayaan itu sungguh berarti. Sebab maksud ibadat harian ialah pertama-tama membentuk hati dengan semangat doa Gereja yang asli dan menimba kekuatan serta kenikmatan dari pujian Allah (Mzm 146/147).
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
1. Selintas Susunan Doa Ibadat Harian
Semua Ibadat Harian, diawali dengan seruan mazmur 69/70: 2 : “Ya Allah bersegeralah menolong Aku…..” – Kecuali dalam Ibadat Pembukaan (bisa Ibadat Bacaan atau Ibadat Pagi) yang diawali dengan seruan : ”Ya Tuhan sudilah membuka hatiku – supaya mulutku mewartakan pujianMu.” (Mzm 50/51: 17) – dilanjutkan dengan antiphone dan mazmur pembukaan (biasanya mazmur 94/95).
Selanjutnya dilagukan madah dan pendarasan mazmur. Kemudian diikuti dengan pembacaan Kitab Suci dan disambut dengan sebuah seruan lagu singkat. Komponen-komponen lainnya tergantung kepada masing-masing Ibadat yang dirayakan. Dan dalam tiap ibadat, mazmur diawali dan diakhir dengan sebuah antiphone dan ditutup dengan doxology (kemuliaan).
2. Petugas & Sikap Liturgi dalam Ibadat Harian
- Setiap perayaan umat, sebaiknya dipimpin oleh imam atau diakon dan didampingi para petugas lainnya.
- Imam atau diakon yang memimpin bertugas membuka ofisi dengan ayat pembukaan, memulai Bapa Kami, mengucapkan doa penutup, memberi salam kepada umat, memberi berkat dan membubarkan umat. Semua ini dilakukan di tempat duduknya
- Doa-doa permohonan dapat dilakukan oleh imam atau petugas lain
- Apabila tidak ada imam atau diakon yang memimpin, pemimpin ofisi menduduki tempat pertama, tetapi sejajar dengan hadirin lainnya. Ia tidak memasuki ruang imam, tidak memberi salam dan juga tidak memberkati umat.
- Petugas bacaan membawakan dengan berdiri di tempat yang sesuai
- Semua peserta berdiri saat :
• Pembukaan Ofisi
• Madah
• Kidung dari Injil
• Doa permohonan, Bapa Kami dan doa penutup.
- Semua peserta duduk waktu bacaan-bacaan, kecuali bacaan dari Injil
- Waktu mazmur, kidung dan antifon semua duduk atau berdiri tergantung kebiasaan.
3. Tanda Salib
Dalam Ibadat Harian, tanda Salib tidak dilakukan secara harafiah – dalam arti dengan kata-kata “dalam nama Bapa, dst…”. Tanda salib dilakukan bersamaan dengan seruan pembukaan :
- Ibadat Pembuka : “Ya Tuhan sudilah membuka hatiku…..” pada saat bersamaan semua peserta membuat tanda salib kecil di dahi, mulut dan di dada.
- Pembukaan Ibadat Harian yang lain : “Ya Allah bersegeralah menolong aku….dst” pada saat bersamaan semua peserta membuat tanda salib besar seperti biasanya.
Selain itu tanda salib besar juga dilakukan saat Kidung Zakharia, Kidung Maria dan Kidung Simeon – serta pada saat berkat penutup.
4. Pendarasan Mazmur & Bahasa
- Cara pendarasan mazmur tergantung pada pelbagai pertimbangan, misal dari jenis sastra dan panjangnya mazmur, bahasa yang dipakai, jumlah peserta, dan sebagainya.
- Beberapa pendarasan mazmur :
• Didaraskan bersama-sama seluruh hadirin
• Bergantian antara koor dan umat
• Bersahut-sahutan (responsorial) antara umat atau umat dan petugas
- Pada awal mazmur selalu diucapkan antiphon dan pada akhir mazmur ditambahkan “Kemuliaan…. Seperti…” sebagaimana dianjurkan oleh tradisi. Dengan demikian doa Perjanjian Lama diberi nada pujian dan dihubungkan dengan misteri Kristus dan Tritunggal Maha Kudus.
Setelah pendarasan mazmur sebaiknya antiphon diulangi
- Saat hening diantara bagian-bagian mazmur juga sangat dianjurkan sebagai nada sela menghayati apa yang baru didaraskan.
- Dalam perayaan Ibadat Harian, nyanyian tidak boleh dianggap sebagai hiasan atau tambahan belaka. Nyanyian merupakan luapan hati orang yang berdoa dan memuji Allah serta mewujudkan kebersamaan ibadat Kristen dengan sempurna.
- Dalam upacara liturgi yang dinyanyikan dalam bahasa Latin, nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas liturgi Roma, harus diutamakan, kecuali jika ada pertimbangan lain (SC 116)
- Tidak ada jenis musik suci yang ditolak Gereja untuk upacara liturgi, asal selaras dengan semangat upacara liturgi tersebut dan hakikat masing-masing bagiannya dan tidak menghalangi umat untuk ikut berperan serta secara aktif. (MS9 – lih SC 116)
- Ibadat Harian dapat dirayakan dengan bahasa lokal/setempat, “maka hendaknya diciptakan lagu-lagu untuk nyanyian ofisi dalam bahasa lokal” (MS 41 – lih juga 54-61)
- Tidak ada keberatan bahwa bagian yang satu dinyanyikan dalam bahasa yang berbeda dengan bagian lain (MS 51)
Tradisi-tradisi Lain
Dalam beberapa biara atau komunitas religius terdapat tradisi yang patut pula kita pelihara dan ikuti, misalkan tradisi membungkukkan badan dengan khitmat saat pengucapan Kemuliaan kepada Tritunggal Maha Kudus – dalam mendoakan bait terakhir Madah yang bernada Trinitarian, serta di saat mengucapkan kata “Yesus” (misal dalam antiphone Ratu Surga dalam kompletorium)
Kewajiban Mendoakan Ibadat Harian
Dalam Gereja Katolik, praktek ibadat harian dilakukan oleh para imam, diakon dan komunitas-komunitas religius di dalam Gereja. Meski demikian, Konsili Vatikan II (dan anjuran-anjuran setelahnya) juga sangat mendorong bagi para awam secara pribadi maupun bersama-sama menjalankan doa Gereja ini :
- “…. Dianjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan.” (SC100)
- “Menurut asal-usul dan hakikatnya, ibadat harian bukanlah milik khusus para rohaniwan dan rahib saja, melainkan milik umum seluruh umat Kristen” dan atas dasar konstitusi dan peraturan diangkat menjadi “doa resmi Gereja” (Pedoman Ibadat Harian, No.270).
Ibadat Harian bukanlah peninggalan indah masa lalu yang harus dipelihara untuk dikagumi, melainkan gejala hidup umat setempat, penuh daya pembaharuan, pertumbuhan dan kesegaran. Tradisi suci ini perlu kita kembangkan di kalangan hidup rohani umat yang, dewasa ini dibingungkan dengan munculnya aneka devosi atau kegiatan latihan rohani yang relatif baru.
Dalam pelaksanaan ibadat Harian dikalangan umat, yang terpenting ialah jangan sampai perayaan itu menjadi kaku dan dibuat-buat, atau merupakan rutinitas dan formalisme belaka. Jadi harus diusahakan supaya perayaan itu sungguh berarti. Sebab maksud ibadat harian ialah pertama-tama membentuk hati dengan semangat doa Gereja yang asli dan menimba kekuatan serta kenikmatan dari pujian Allah (Mzm 146/147).
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Tentang Ibadat Harian dan Ibadat Penutup (Completorium)
Completorium atau Ibadat Penutup merupakan bagian dari Ibadat Harian.
Ibadat Harian merupakan terjemahan dari kata (Liturgia Horarum – har :
Liturgi Waktu) yang dikenal pula dengan nama-nama lain seperti : Ofisi
Ilahi (Officium Divinum), dan doa Brevir. Ibadat Harian mempunyai akar
yang sangat panjang dan dalam dalam tradisi Judaisme maupun setelah
“dikristenkan” oleh praktek Jemaat Gereja Perdana.
Apa itu Ibadat Harian?
Dalam Puji Syukur, pada bagian KEBIASAAN ORANG KRISTEN salah satunya dikatakan adalah Melaksanakan Ibadah Harian. Dalam hal ini Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II mengatakan: Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian (SC 83). Sebelum menjawab apa itu Ibadat harian – ada baiknya kita mengenal sekilas sejarah Ibadat Harian.
SELINTAS SEJARAH IBADAT HARIAN
Asal Mula Ibadat Harian
Dalam tradisi bangsa Yahudi, sepanjang kurun waktu pagi, siang dan malam disucikan bagi Allah.
Awal mulanya, atas perintah Allah kepada para imam, penyucian hari dilakukan melalui kurban sembelihan pada pagi dan petang hari (Kel. 29:38-39 – bdk, Bil. 28:3-8, 1Raja 18:36). Praktek ini terus berlangsung hingga ke Bait Allah di Jerusalem. Dan selanjutnya di masa pembuangan Babilon, dimana Bait Allah dihancurkan, praktek ini digantikan dengan pembacaan Torah, mazmur dan madah pujian di sinagoga-sinagoga. Kurban Pujian menggantikan kurban sembelihan.
Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan gampang kita temukan dalam ungkapan-ungkapan perjanjian lama terutama dalam “kitab doa” mereka, yaitu kitab Mazmur, misal :
- Mzm 5:4 TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu
- Mzm 88:14 Tetapi aku ini, ya TUHAN, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai dalam Ibadat Penutup hari Jumat)
- Mzm 119:164 Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil
- Mzm 141:2 Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.
Umat Israel pada masa pembuangan juga memiliki kebiasaan berdoa pada jam-jam tertentu (lih. Dan 6:10;6:13)
Setelah masa pembuangan dan sisa Israel kembali ke Yudea, kurban pujian ini tetap dilakukan di Bait Allah yang dibangun kembali.
Dan pada saat penjajahan Romawi, kaum Yahudi mulai mengikuti sistem pembagian waktu romawi dalam melaksanakan roda bisnis dan juga kehidupan sehari-hari, termasuk dalam waktu berdoa. Di kota-kota jajahan Romawi, terdapat bel di pasar/tengah kota sebagai penanda jam kerja. Bel mulai berbunyi kira-kira jam enam pagi, sembilan dan jam ketiga di tengah hari untuk menandai saat makan siang, dan selanjutnya untuk memanggil orang-orang untuk kembali bekerja di jam satu siang jam tiga siang hingga akhirnya bel berbunyi terakhir kalinya pukul enam sore untuk menutup waktu kerja.
Jemaat Kristen perdana meneruskan tradisi Yahudi dalam melambungkan doa-doa pada waktu-waktu tertentu di sepanjang hari – dan dengan pengaruh pengaturan waktu versi Romawi di atas. Yesus dan Para Rasul menjalankan kebiasaan Yahudi ini. Injil suci kerap kali mengisahkan Yesus sedang berdoa : bdk. Luk 3:21-22, Luk 6:12, Mat 4:19; 15:36, Luk 9:28-29; Yoh 11:41,dst; Luk 9:18 ; Luk 11:1; Mat 11:25; Mat 19:13; Luk 22:32. Hidup Yesus sehari-hari selalu berhubungan erat dengan doa – bahkan mengalir daripadanya: bdk. Mrk 1:35, Luk 5:16 lih Mat 4:1, Mat 14:23; Mrk 1:35; Mat 14:23.25; Mrk 6:46,dst.
Mereka berdoa pada waktu-waktu tertentu : pada jam tiga, jam enam dan jam sembilan serta di tengah malam hari (bdk. Kis 10:3, 9; 16:25, dll). Mukjijat pertama yang dilakukan para rasul, menyembuhkan orang lumpuh di tangga Bait Allah terjadi saat Petrus dan Yohanes bergegas menuju Bait Allah untuk berdoa (bdk. Kis 3:1). Juga satu moment sangat penting yang diputuskan oleh jemaat perdana, yaitu menerima “bangsa-bangsa kafir” sebagai bagian dari umat Allah terjadi setelah visiun yang dialami Petrus saat dia berdoa di siang hari (bdk. Kis 10:9-49).
Selanjutnya, ketika Kristianitas mulai terpisah dari Judaisme (ditandai dengan hancurnya Bait Allah Yerusalem tahun 70), praktek berdoa di saat-saat tertentu (baca: penyucian waktu) ini terus berlanjut. Doa-doa jemaat Kristen Perdana tetap berisikan elemen yang hampir sama dengan apa yang dilakukan bangsa Yahudi : mengulang-ulang atau menyanyikan (mendaraskan) mazmur, membaca kitab suci, (Kis 4:23-30) dan pada kemudian hari ditambahkan dengan madah kemuliaan serta beberapa elemen yang lainnya.
Para Bapa Gereja – Abad Pertengahan – Konsili Trente hingga Revisi Paus Pius V
Penetapan waktu doa selain dituliskan dalam Alkitab juga terdapat dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan kitab-kitab Apokrif. Kitab Didache (95M) menyebut “orismenois kairois kai horeis” (“waktu-waktu dan jam-jam tertentu untuk sembahyang”). Rujukan tentang hal ini juga termuat dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380) dan Bapa Gereja. Basilius Agung (330 – 379) dalam “Regulae Fusius Tractate”, yang bahkan menyebutkan bahwa penetapan waktu-waktu sembahyang itu telah dilakukan di Yerusalem oleh Para Rasul sendiri.
Hampir semua Bapa Gereja menulis tentang tradisi penyucian waktu ini, baik dari Gereja Timur seperti Bapa Gereja Yohanes Krisostomos (354 – 407), maupun di Gereja Barat seperti St. Hieronimus (340 – 420). St.Agustinus dari Hippo dalam Regula-nya (aturan hidup membiara) yang pertama di dunia Barat (ditulis sekitar tahun 397), menganjurkan pada para rahib dan rabib/ rubiah : “Untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan”. Pada abad ketiga, para Bapa Padang Gurun (rahib awali) memulai hidup pertapa untuk memenuhi anjuran St. Paulus agar “berdoa tanpa henti” (I Tes 5:17). Dan mereka melakukan praktek doa ini secara berkelompok.
Di Gereja Timur, perkembangan Ibadat Harian ini beralih dari sekitar Jerusalem menuju Konstantinopel. St. Theodorus (758-826) mengkombinasikan doa ini dengan beberapa pengaruh dari Byzantium dan menambahkan beberapa madah gubahannya sendiri.
Di Gereja Barat, St. Benediktus Nursia dalam regulanya yang terkenal memberikan panduan tentang praktek doa ibadat harian ini. St. Benediktus pula yang dengan tajam menandaskan bahwa konsep doa Kristen tidaklah terpisah antara hidup rohani dan hidup jasmani. Ungkapan Beliau yang sangat terkenal adalah “Orare est laborare, laborare est orare” (“To pray is to work, to work is to pray”). Pada masa Beliau juga doa ibadat harian disebut sebagai doa Ofisi Ilahi (Officium Divinum). Officium berarti karya (Opus) – Divinum berarti Ilahi (Dei). Para pengikut Benediktine menyebut doa ini sebagai Opus Dei atau “Work of God.” (Karya Allah).
Pada perkembangannya format doa Ibadat Harian berkembang pesat dalam praktek hidup monastik Kristiani baik di barat dan di timur. Di abad keempat praktek doa ibadat harian ini telah mendapatkan bentuknya yang lebih pasti, baik untuk kaum monastik, imam sekuler, maupun umat awam. Dan karena perkembangan ini pula dibutuhkan buku panduan doa yang kurang lebih lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan gereja saat itu. Awalnya buku panduan doa itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Satu buku berisikan kumpulan mazmur, lain lagi buku berikan kumpulan madah, buku Injil untuk bacaan Kitab Suci, dan sebagainya. Cukup ribet. Belum lagi ditambah dengan perkembangan umat sistem parokial yang secara geografis semakin jauh dari Katedral atau Basilika. Hingga akhirnya disusunlah versi sederhana dari doa-doa ibadat harian itu dalam satu buku yang disebut Brevir (latin har. berarti pendek). Brevir ini akhirnya dikenal luas hingga di masa Konsili Trente yang menghendaki adanya perubahan agar lebih efektif dan terlepas dari unsur-unsur mitos di dalam madah-madahnya.
Konsili Trente (13 Desember 1545 – 4 Desember 1563), dalam pertemuan finalnya 4 Desember 1563 mempercayakan reformasi brevir ini kepada Paus Pius IV. Dan pada tanggal 9 Juli 1568 – Paus Pius V (pengganti Pius IV) mengumumkan sebuah edisi revisi yang kemudian dikenal dengan sebutan Brevir Romawi. Dalam keputusan apostoliknya, Quod a nobis, dengan tegas ditandaskan larangan untuk menambahkan atau pun menghilangkan satu titik pun di dalam brevir tersebut (hal yang sama dilakukannya untuk buku Roman Missal dalam bulla Quo primum) agar tidak terkena murka Allah. “No one whosoever is permitted to alter this letter or heedlessly to venture to go contrary to this notice of Our permission, statute, ordinance, command, precept, grant, indult declaration, will decree and prohibition. Should anyone, however, presume to commit such an act, he should know that he will incur the wrath of Almighty God and of the Blessed Apostles Peter and Paul.” (In Defense of the Pauline Mass).
Konsili Vatikan II
34 tahun setelah revisi Paus Puis V, Paus Clement VIII melakukan perubahan atas brevir tersebut. Setelahnya, Paus Urban VIII dan Pius X juga melakukan perubahan yang cukup significant. Hal yang sama juga dilakukan oleh Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII di tahun 1960.
Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga sebelum konsili vatican II, doa ibadat harian terdiri atas:
- Matutinum : Ibadat tengah malam (Vigile)
- Laudes (ps 148, 149, 150) dilakukan saat fajar menyingsing
- Primus – doa diawal pagi (jam 6)
- Tertia – Doa di awal tengah hari (jam 9)
- Sexta – doa tengah hari (jam 12 siang tepat)
- Nona – Doa setelah tengah hari (pk. 15.00)
- Vesper – doa sore (saat matahari tenggelam dan lampu-lampu mulai dinyalakan)
- Completorium – doa penutup hari.
Konsili Vatikan II melakukan penyederhanaan pada jam-jam kanonik Ibadat harian dan menjadikannya lebih mudah dilakukan pula oleh para awam dengan harapan untuk menggembalikan kembali karakter Ibadat Harian sebagai doa seluruh Gereja (bukan monoplogi biarawan/wati saja).
Konsili menghapuskan doa primus (digabungkan dengan Laudes) dan mengubah karakter Matutinum menjadi Ibadat Bacaan sehingga dapat dilakukan di setiap waktu. Lebih jauh lagi, konsili melakukan penataan ulang sehingga mazmur-mazmur secara keseluruhan bisa didoakan selama empat minggu (sebelumnya hanya satu minggu!).
Sejak Konsili Vatikan II pula, nama Roman Breviary diganti dengan sebutan Liturgy of the Hours / Ibadat Harian (Liturgia Horarum) yang terbagi dalam empat volume sesuai dengan Kalender Liturgi gereja:
• Volume I: Adven & Natal
• Volume II: Prapaskah dan Trihari Suci serta Masa Paska
• Volume III: Minggu Biasa 1 sampai 17
• Volume IV: Minggu Biasa 18 sampai 34
Saat ini, praktek Ibadat Harian dalam Gereja katolik Roma meliputi :
- Ibadat Pembukaan (merupakan ibadat pertama pada hari tersebut, bisa dalam Ibadat Bacaan atau Ibadat Pagi)
- Ibadat Bacaan (Matutinum)
- Ibadat Pagi (Laudes)
- Ibadat Siang, terdiri atas :
• Tertia (Ibadat sebelum tengah hari)
• Sextia (Ibadat tepat tengah hari)
• Nona (Ibadat setelah tengah hari)
- Ibadat Sore (Vesper)
- Ibadat Malam (Completorium)
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Gambar : http://tradisikatolik.blogspot.com/
Apa itu Ibadat Harian?
Dalam Puji Syukur, pada bagian KEBIASAAN ORANG KRISTEN salah satunya dikatakan adalah Melaksanakan Ibadah Harian. Dalam hal ini Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II mengatakan: Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian (SC 83). Sebelum menjawab apa itu Ibadat harian – ada baiknya kita mengenal sekilas sejarah Ibadat Harian.
SELINTAS SEJARAH IBADAT HARIAN
Asal Mula Ibadat Harian
Dalam tradisi bangsa Yahudi, sepanjang kurun waktu pagi, siang dan malam disucikan bagi Allah.
Awal mulanya, atas perintah Allah kepada para imam, penyucian hari dilakukan melalui kurban sembelihan pada pagi dan petang hari (Kel. 29:38-39 – bdk, Bil. 28:3-8, 1Raja 18:36). Praktek ini terus berlangsung hingga ke Bait Allah di Jerusalem. Dan selanjutnya di masa pembuangan Babilon, dimana Bait Allah dihancurkan, praktek ini digantikan dengan pembacaan Torah, mazmur dan madah pujian di sinagoga-sinagoga. Kurban Pujian menggantikan kurban sembelihan.
Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan gampang kita temukan dalam ungkapan-ungkapan perjanjian lama terutama dalam “kitab doa” mereka, yaitu kitab Mazmur, misal :
- Mzm 5:4 TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu
- Mzm 88:14 Tetapi aku ini, ya TUHAN, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai dalam Ibadat Penutup hari Jumat)
- Mzm 119:164 Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil
- Mzm 141:2 Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.
Umat Israel pada masa pembuangan juga memiliki kebiasaan berdoa pada jam-jam tertentu (lih. Dan 6:10;6:13)
Setelah masa pembuangan dan sisa Israel kembali ke Yudea, kurban pujian ini tetap dilakukan di Bait Allah yang dibangun kembali.
Dan pada saat penjajahan Romawi, kaum Yahudi mulai mengikuti sistem pembagian waktu romawi dalam melaksanakan roda bisnis dan juga kehidupan sehari-hari, termasuk dalam waktu berdoa. Di kota-kota jajahan Romawi, terdapat bel di pasar/tengah kota sebagai penanda jam kerja. Bel mulai berbunyi kira-kira jam enam pagi, sembilan dan jam ketiga di tengah hari untuk menandai saat makan siang, dan selanjutnya untuk memanggil orang-orang untuk kembali bekerja di jam satu siang jam tiga siang hingga akhirnya bel berbunyi terakhir kalinya pukul enam sore untuk menutup waktu kerja.
Jemaat Kristen perdana meneruskan tradisi Yahudi dalam melambungkan doa-doa pada waktu-waktu tertentu di sepanjang hari – dan dengan pengaruh pengaturan waktu versi Romawi di atas. Yesus dan Para Rasul menjalankan kebiasaan Yahudi ini. Injil suci kerap kali mengisahkan Yesus sedang berdoa : bdk. Luk 3:21-22, Luk 6:12, Mat 4:19; 15:36, Luk 9:28-29; Yoh 11:41,dst; Luk 9:18 ; Luk 11:1; Mat 11:25; Mat 19:13; Luk 22:32. Hidup Yesus sehari-hari selalu berhubungan erat dengan doa – bahkan mengalir daripadanya: bdk. Mrk 1:35, Luk 5:16 lih Mat 4:1, Mat 14:23; Mrk 1:35; Mat 14:23.25; Mrk 6:46,dst.
Mereka berdoa pada waktu-waktu tertentu : pada jam tiga, jam enam dan jam sembilan serta di tengah malam hari (bdk. Kis 10:3, 9; 16:25, dll). Mukjijat pertama yang dilakukan para rasul, menyembuhkan orang lumpuh di tangga Bait Allah terjadi saat Petrus dan Yohanes bergegas menuju Bait Allah untuk berdoa (bdk. Kis 3:1). Juga satu moment sangat penting yang diputuskan oleh jemaat perdana, yaitu menerima “bangsa-bangsa kafir” sebagai bagian dari umat Allah terjadi setelah visiun yang dialami Petrus saat dia berdoa di siang hari (bdk. Kis 10:9-49).
Selanjutnya, ketika Kristianitas mulai terpisah dari Judaisme (ditandai dengan hancurnya Bait Allah Yerusalem tahun 70), praktek berdoa di saat-saat tertentu (baca: penyucian waktu) ini terus berlanjut. Doa-doa jemaat Kristen Perdana tetap berisikan elemen yang hampir sama dengan apa yang dilakukan bangsa Yahudi : mengulang-ulang atau menyanyikan (mendaraskan) mazmur, membaca kitab suci, (Kis 4:23-30) dan pada kemudian hari ditambahkan dengan madah kemuliaan serta beberapa elemen yang lainnya.
Para Bapa Gereja – Abad Pertengahan – Konsili Trente hingga Revisi Paus Pius V
Penetapan waktu doa selain dituliskan dalam Alkitab juga terdapat dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan kitab-kitab Apokrif. Kitab Didache (95M) menyebut “orismenois kairois kai horeis” (“waktu-waktu dan jam-jam tertentu untuk sembahyang”). Rujukan tentang hal ini juga termuat dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380) dan Bapa Gereja. Basilius Agung (330 – 379) dalam “Regulae Fusius Tractate”, yang bahkan menyebutkan bahwa penetapan waktu-waktu sembahyang itu telah dilakukan di Yerusalem oleh Para Rasul sendiri.
Hampir semua Bapa Gereja menulis tentang tradisi penyucian waktu ini, baik dari Gereja Timur seperti Bapa Gereja Yohanes Krisostomos (354 – 407), maupun di Gereja Barat seperti St. Hieronimus (340 – 420). St.Agustinus dari Hippo dalam Regula-nya (aturan hidup membiara) yang pertama di dunia Barat (ditulis sekitar tahun 397), menganjurkan pada para rahib dan rabib/ rubiah : “Untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan”. Pada abad ketiga, para Bapa Padang Gurun (rahib awali) memulai hidup pertapa untuk memenuhi anjuran St. Paulus agar “berdoa tanpa henti” (I Tes 5:17). Dan mereka melakukan praktek doa ini secara berkelompok.
Di Gereja Timur, perkembangan Ibadat Harian ini beralih dari sekitar Jerusalem menuju Konstantinopel. St. Theodorus (758-826) mengkombinasikan doa ini dengan beberapa pengaruh dari Byzantium dan menambahkan beberapa madah gubahannya sendiri.
Di Gereja Barat, St. Benediktus Nursia dalam regulanya yang terkenal memberikan panduan tentang praktek doa ibadat harian ini. St. Benediktus pula yang dengan tajam menandaskan bahwa konsep doa Kristen tidaklah terpisah antara hidup rohani dan hidup jasmani. Ungkapan Beliau yang sangat terkenal adalah “Orare est laborare, laborare est orare” (“To pray is to work, to work is to pray”). Pada masa Beliau juga doa ibadat harian disebut sebagai doa Ofisi Ilahi (Officium Divinum). Officium berarti karya (Opus) – Divinum berarti Ilahi (Dei). Para pengikut Benediktine menyebut doa ini sebagai Opus Dei atau “Work of God.” (Karya Allah).
Pada perkembangannya format doa Ibadat Harian berkembang pesat dalam praktek hidup monastik Kristiani baik di barat dan di timur. Di abad keempat praktek doa ibadat harian ini telah mendapatkan bentuknya yang lebih pasti, baik untuk kaum monastik, imam sekuler, maupun umat awam. Dan karena perkembangan ini pula dibutuhkan buku panduan doa yang kurang lebih lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan gereja saat itu. Awalnya buku panduan doa itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Satu buku berisikan kumpulan mazmur, lain lagi buku berikan kumpulan madah, buku Injil untuk bacaan Kitab Suci, dan sebagainya. Cukup ribet. Belum lagi ditambah dengan perkembangan umat sistem parokial yang secara geografis semakin jauh dari Katedral atau Basilika. Hingga akhirnya disusunlah versi sederhana dari doa-doa ibadat harian itu dalam satu buku yang disebut Brevir (latin har. berarti pendek). Brevir ini akhirnya dikenal luas hingga di masa Konsili Trente yang menghendaki adanya perubahan agar lebih efektif dan terlepas dari unsur-unsur mitos di dalam madah-madahnya.
Konsili Trente (13 Desember 1545 – 4 Desember 1563), dalam pertemuan finalnya 4 Desember 1563 mempercayakan reformasi brevir ini kepada Paus Pius IV. Dan pada tanggal 9 Juli 1568 – Paus Pius V (pengganti Pius IV) mengumumkan sebuah edisi revisi yang kemudian dikenal dengan sebutan Brevir Romawi. Dalam keputusan apostoliknya, Quod a nobis, dengan tegas ditandaskan larangan untuk menambahkan atau pun menghilangkan satu titik pun di dalam brevir tersebut (hal yang sama dilakukannya untuk buku Roman Missal dalam bulla Quo primum) agar tidak terkena murka Allah. “No one whosoever is permitted to alter this letter or heedlessly to venture to go contrary to this notice of Our permission, statute, ordinance, command, precept, grant, indult declaration, will decree and prohibition. Should anyone, however, presume to commit such an act, he should know that he will incur the wrath of Almighty God and of the Blessed Apostles Peter and Paul.” (In Defense of the Pauline Mass).
Konsili Vatikan II
34 tahun setelah revisi Paus Puis V, Paus Clement VIII melakukan perubahan atas brevir tersebut. Setelahnya, Paus Urban VIII dan Pius X juga melakukan perubahan yang cukup significant. Hal yang sama juga dilakukan oleh Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII di tahun 1960.
Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga sebelum konsili vatican II, doa ibadat harian terdiri atas:
- Matutinum : Ibadat tengah malam (Vigile)
- Laudes (ps 148, 149, 150) dilakukan saat fajar menyingsing
- Primus – doa diawal pagi (jam 6)
- Tertia – Doa di awal tengah hari (jam 9)
- Sexta – doa tengah hari (jam 12 siang tepat)
- Nona – Doa setelah tengah hari (pk. 15.00)
- Vesper – doa sore (saat matahari tenggelam dan lampu-lampu mulai dinyalakan)
- Completorium – doa penutup hari.
Konsili Vatikan II melakukan penyederhanaan pada jam-jam kanonik Ibadat harian dan menjadikannya lebih mudah dilakukan pula oleh para awam dengan harapan untuk menggembalikan kembali karakter Ibadat Harian sebagai doa seluruh Gereja (bukan monoplogi biarawan/wati saja).
Konsili menghapuskan doa primus (digabungkan dengan Laudes) dan mengubah karakter Matutinum menjadi Ibadat Bacaan sehingga dapat dilakukan di setiap waktu. Lebih jauh lagi, konsili melakukan penataan ulang sehingga mazmur-mazmur secara keseluruhan bisa didoakan selama empat minggu (sebelumnya hanya satu minggu!).
Sejak Konsili Vatikan II pula, nama Roman Breviary diganti dengan sebutan Liturgy of the Hours / Ibadat Harian (Liturgia Horarum) yang terbagi dalam empat volume sesuai dengan Kalender Liturgi gereja:
• Volume I: Adven & Natal
• Volume II: Prapaskah dan Trihari Suci serta Masa Paska
• Volume III: Minggu Biasa 1 sampai 17
• Volume IV: Minggu Biasa 18 sampai 34
Saat ini, praktek Ibadat Harian dalam Gereja katolik Roma meliputi :
- Ibadat Pembukaan (merupakan ibadat pertama pada hari tersebut, bisa dalam Ibadat Bacaan atau Ibadat Pagi)
- Ibadat Bacaan (Matutinum)
- Ibadat Pagi (Laudes)
- Ibadat Siang, terdiri atas :
• Tertia (Ibadat sebelum tengah hari)
• Sextia (Ibadat tepat tengah hari)
• Nona (Ibadat setelah tengah hari)
- Ibadat Sore (Vesper)
- Ibadat Malam (Completorium)
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Gambar : http://tradisikatolik.blogspot.com/
Selasa, 04 Juni 2013
KEBUN ANGGUR SEORANG IMAM LUDAS BUAH-BUAH ANGGURNYA GARA-GARA FRANSISKUS
Karena sakit matanya
Santo Fransiskus pernah untuk beberapa lama berdiam bersama seorang imam
miskin di gereja Santo Fabianus yang terletak di dekat Rieti. Pada
suatu hari Paus Honorius beserta para pejabat pembantunya mengunjungi
kota itu. Karena Sri Paus dan rombongannya sangat menghormati
Fransiskus, maka beliau dan banyak kardinal dan para pejabat tinggi
Gereja itu datang mengunjungi Fransiskus hampir setiap hari.
e to edit.
Gereja ini mempunyai sebuah kebun anggur yang kecil yang terletak bersebelahan dengan ruangan di mana Fransiskus tinggal. Hampir semua orang yang mengunjunginya melewati kebun anggur dalam jalan menuju pintu rumah di mana Fransiskus berdiam. Pada waktu kunjungan para penggede Gereja dari Roma itu, secara kebetulan buah-buah anggur di kebun itu sudah mulai masak … manis rasanya. Tanpa menunggu lama-lama pohon-pohon anggur di kebun itu sudah kehilangan buah anggur. Tak tersisa sedikit pun! Tidak mengherankanlah kalau sang imam menjadi kesal dan marah. Ia berkata, “Walaupun kebun anggur ini kebun yang kecil, aku biasanya masih mampu membuat air-anggur yang cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, akan tetapi tahun ini aku telah kehilangan seluruh tuaian.
Ketika Santo Fransiskus mendengar keluhan sang imam, maka dia minta agar imam itu datang melihatnya, lalu orang kudus ini berkata: “Romo, tidak usah khawatir lagi karena kita tidak dapat melakukan apa pun tentang hal itu sekarang. Namun demikian percayalah kepada Tuhan, karena Dia mampu memperbaiki kerugian Romo sepenuhnya demi aku, hamba-Nya yang kecil ini. Ceritakanlah kepadaku, berapa banyak ‘takaran’ air-anggur yang Romo dapat peroleh pada waktu kebun anggur Romo menghasilkan yang terbaik? “Tiga bela ‘takaran’, Bapak,” jawab sang imam. Lalu Santo Fransiskus berkata kepada sang imam, “Jangan menyesal lagi, ya Romo. Dan jangan lagi mengucapkan kata-kata keras mengenai hal ini. Percayalah kepada Allah dan kata-kataku, dan apabila Romo memperoleh jumlah yang lebih kecil dari dua puluh ‘takaran’ air-anggur, maka aku akan menambahnya.” Maka imam itu menutup mulutnya dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ketika waktu untuk memetik buah anggur secara tahunan tiba, imam itu berhasil memperoleh buah anggur yang menghasilkan tidak kurang dari dua puluh ‘takaran’ air-anggur. Imam itu menjadi kaget serta terkagum-kagum dan juga orang-orang yang mendengar tentang mukjizat itu. Imam itu mengatakan, bahwa meskipun kebun anggurnya itu dipenuhi dengan buah anggur, hal itu tidak tetap tidak dapat menghasilkan dua puluh ‘takaran’ air-anggur.
Namun kami yang bersama dengan dia (Fransiskus) bersama ini memberi kesaksian bahwa apa yang dikatakannya tentang ini, dan semua saja yang diramalkannya selalu dipenuhi dengan tepat.
Sumber: Speculum Perfectionis seu S. Francisci Assisiensis legenda antiquissima auctore fratre Leone nunc primum eidit Paul Sabatier. English version: Mirror of Perfection by Leo Sherley-Price, dalam OMNIBUS, butir 104, hal. 1241-1242.
Cilandak, 8 Oktober 2010
Terjemahan bebas oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Sumber : http://ofsindonesia.weebly.com/16/post/2013/02/5-kebun-anggur-seorang-imam-ludas-buah-buah-anggurnya-gara-gara-fransiskus.html
e to edit.
Gereja ini mempunyai sebuah kebun anggur yang kecil yang terletak bersebelahan dengan ruangan di mana Fransiskus tinggal. Hampir semua orang yang mengunjunginya melewati kebun anggur dalam jalan menuju pintu rumah di mana Fransiskus berdiam. Pada waktu kunjungan para penggede Gereja dari Roma itu, secara kebetulan buah-buah anggur di kebun itu sudah mulai masak … manis rasanya. Tanpa menunggu lama-lama pohon-pohon anggur di kebun itu sudah kehilangan buah anggur. Tak tersisa sedikit pun! Tidak mengherankanlah kalau sang imam menjadi kesal dan marah. Ia berkata, “Walaupun kebun anggur ini kebun yang kecil, aku biasanya masih mampu membuat air-anggur yang cukup untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, akan tetapi tahun ini aku telah kehilangan seluruh tuaian.
Ketika Santo Fransiskus mendengar keluhan sang imam, maka dia minta agar imam itu datang melihatnya, lalu orang kudus ini berkata: “Romo, tidak usah khawatir lagi karena kita tidak dapat melakukan apa pun tentang hal itu sekarang. Namun demikian percayalah kepada Tuhan, karena Dia mampu memperbaiki kerugian Romo sepenuhnya demi aku, hamba-Nya yang kecil ini. Ceritakanlah kepadaku, berapa banyak ‘takaran’ air-anggur yang Romo dapat peroleh pada waktu kebun anggur Romo menghasilkan yang terbaik? “Tiga bela ‘takaran’, Bapak,” jawab sang imam. Lalu Santo Fransiskus berkata kepada sang imam, “Jangan menyesal lagi, ya Romo. Dan jangan lagi mengucapkan kata-kata keras mengenai hal ini. Percayalah kepada Allah dan kata-kataku, dan apabila Romo memperoleh jumlah yang lebih kecil dari dua puluh ‘takaran’ air-anggur, maka aku akan menambahnya.” Maka imam itu menutup mulutnya dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ketika waktu untuk memetik buah anggur secara tahunan tiba, imam itu berhasil memperoleh buah anggur yang menghasilkan tidak kurang dari dua puluh ‘takaran’ air-anggur. Imam itu menjadi kaget serta terkagum-kagum dan juga orang-orang yang mendengar tentang mukjizat itu. Imam itu mengatakan, bahwa meskipun kebun anggurnya itu dipenuhi dengan buah anggur, hal itu tidak tetap tidak dapat menghasilkan dua puluh ‘takaran’ air-anggur.
Namun kami yang bersama dengan dia (Fransiskus) bersama ini memberi kesaksian bahwa apa yang dikatakannya tentang ini, dan semua saja yang diramalkannya selalu dipenuhi dengan tepat.
Sumber: Speculum Perfectionis seu S. Francisci Assisiensis legenda antiquissima auctore fratre Leone nunc primum eidit Paul Sabatier. English version: Mirror of Perfection by Leo Sherley-Price, dalam OMNIBUS, butir 104, hal. 1241-1242.
Cilandak, 8 Oktober 2010
Terjemahan bebas oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Sumber : http://ofsindonesia.weebly.com/16/post/2013/02/5-kebun-anggur-seorang-imam-ludas-buah-buah-anggurnya-gara-gara-fransiskus.html
TIGA PESAN AKHIR FRANSISKUS KEPADA PARA SAUDARA
Sekali peristiwa
Fransiskus ingin mau muntah karena penyakit perutnya. Begitu hebat dan
keras muntahnya itu, sehingga darah terus keluar sepanjang malam sampai
pagi harinya.
Ketika
para saudara yang menemaninya melihat dia hampir mati dari rasa lelah
dan sakit yang ekstrim, mereka berkata kepadanya dengan rasa sedih
sekali sambil berlinang-linang airmata, ‘Bapak, apa yang akan kami
lakukan tanpa engkau? Ke bawah asuhan siapakah kami engkau akan serahkan
sebagai anak-anak yatim? Engkau selalu merupakan ayah dan ibu kami
sekaligus; engkau telah mengandung kami dan membawa kami maju dalam
Kristus. Engkau adalah pemimpin dan gembala bagi kami, instruktur dan
korektor, mengajar dan mengoreksi kami lewat teladan hidupmu, bukannya
kata-katamu. Kemana kami harus pergi, domba-domba tanpa seorang gembala,
anak-anak tanpa seorang ayah, orang-orang kasar dan sederhana tanpa
seorang pemimpin? Ke mana kiranya kami harus pergi untuk menemukanmu, O
Kemuliaan Kemiskinan, Pujian Kesederhanaan, yang suka mengingatkan kami
akan sifat kedosaan kami? Siapakah sekarang yang akan menunjukkan jalan
kebenaran kepada kami, orang-orang buta ini? Bagaimana kami akan
mendengar mulutmu berbicara kepada kami, dan lidahmu memberikan nasihat
kepada kami? Di manakah kami akan menemukan semangatmu yang
berkobar-kobar, yang membimbing kami sepanjang jalan Salib, dan
menginspirasikan kami kepada kesempurnaan Injili? Di manakah engkau akan
berada sehingga kami dapat datang berlari kepadamu, untuk membuat
terang mata kami? Ke manakah kami harus mencari engkau, penghibur jiwa
kami? O Bapak, apakah engkau sedang meregang nyawa? Engkau meninggalkan
kami terbuang, sedih dan penuh keputus-asaan!
‘Aduh sedihnya hari ini! Karena ini adalah suatu hari penuh airmata dan kepahitan, suatu hari desolasi dan kesedihan sedang menimpa diri kami! Tidak mengherankanlah, karena selama ini hidupmu merupakan terang yang secara tetap menyinari kami, dan kata-katamu yang seperti obor-obor menyala, selalu menerangi kami sepanjang jalan Salib kami kepada kesempurnaan Injili, dan kepada cintakasih serta meneladani Tuhan kita yang manis dan tersalib.
‘Bapak, paling sedikit berikanlah berkatmu kepada kami dan kepada saudara-saudara yang lain, putera-puteramu yang telah kau peranakkan dalam Kristus, dan meninggalkan kenangan akan kehendakmu yang akan selalu dapat diingat oleh para saudara, sehingga berkata, “Bapak kita mewariskan kata-kata ini kepada para saudaranya dan putera-puteranya pada saat ajalnya.”’
Kemudian Bapak yang tercinta memandang putera-puteranya dan berkata, ‘Panggillah Saudara Benediktus dari Piratro untuk datang kepadaku.’ Saudara ini adalah seorang imam yang suci dan bijaksana, yang kadang-kadang merayakan Misa untuk Santo Fransikus pada saat terbaring sakit; karena betapa berat sekali pun sakitnya, dia selalu ingin mendengar Misa apabila dimungkinkan. Setelah Saudara Benediktus datang, Santo Fransiskus berkata kepadanya, ‘Tuliskanlah bahwa aku memberi berkatku kepada semua saudaraku dalam Ordo, dan kepada semua yang akan masuk Ordo ini sampai akhir dunia. Dan karena aku tidak dapat berbicara banyak disebabkan oleh kelemahanku dan rasa sakit dari penyakitku, aku ingin secara singkat membuat kehendak dan tujuanku jelas bagi semua saudara, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang di kemudian hari. Sebagai sebuah tanda bahwa mereka mengingat aku, berkatku dan Wasiatku, aku ingin mereka untuk selalu mengasihi satu sama lain, sebagaimana aku telah mengasihi mereka. Hendaklah mereka selalu mengasihi dan menghormati Tuan Puteri Kemiskinan kita, dan tetap setia serta taat kepada para uskup dan klerus dari Bunda Gereja yang kudus.’
Pada setiap penutupan kapitel, Bapa kita selalu memberkati dan mengampuni semua saudara dalam Ordo, baik yang ada pada masa itu maupun yang akan datang, dan dengan semangat penuh gairah kasihnya dia sering melakukan hal itu di luar kapitel. Namun dia biasa mengingatkan para saudara bahwa mereka harus waspada jangan sampai memberi contoh buruk, dan dia mengutuk semua yang karena contoh buruk mereka menyebabkan orang-orang berbicara buruk tentang Ordo dan kehidupan para saudara, karena para saudara yang baik dan suci menjadi dipermalukan dan berada dalam kesukaran besar disebabkan oleh perilaku sedemikian.
Sumber: Speculum Perfectionis seu S. Francisci Assisiensis legenda antiquissima auctore fratre Leone nunc primum eidit Paul Sabatier. English version: Mirror of Perfection by Leo Sherley-Price, dalam OMNIBUS, butir 87, hal. 1220-1221.
Cilandak, 9 Oktober 2010
Terjemahan bebas oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Sumber: http://ofsindonesia.weebly.com/16/post/2013/02/6tiga-pesan-akhir-fransiskus-kepada-para-saudara.html
‘Aduh sedihnya hari ini! Karena ini adalah suatu hari penuh airmata dan kepahitan, suatu hari desolasi dan kesedihan sedang menimpa diri kami! Tidak mengherankanlah, karena selama ini hidupmu merupakan terang yang secara tetap menyinari kami, dan kata-katamu yang seperti obor-obor menyala, selalu menerangi kami sepanjang jalan Salib kami kepada kesempurnaan Injili, dan kepada cintakasih serta meneladani Tuhan kita yang manis dan tersalib.
‘Bapak, paling sedikit berikanlah berkatmu kepada kami dan kepada saudara-saudara yang lain, putera-puteramu yang telah kau peranakkan dalam Kristus, dan meninggalkan kenangan akan kehendakmu yang akan selalu dapat diingat oleh para saudara, sehingga berkata, “Bapak kita mewariskan kata-kata ini kepada para saudaranya dan putera-puteranya pada saat ajalnya.”’
Kemudian Bapak yang tercinta memandang putera-puteranya dan berkata, ‘Panggillah Saudara Benediktus dari Piratro untuk datang kepadaku.’ Saudara ini adalah seorang imam yang suci dan bijaksana, yang kadang-kadang merayakan Misa untuk Santo Fransikus pada saat terbaring sakit; karena betapa berat sekali pun sakitnya, dia selalu ingin mendengar Misa apabila dimungkinkan. Setelah Saudara Benediktus datang, Santo Fransiskus berkata kepadanya, ‘Tuliskanlah bahwa aku memberi berkatku kepada semua saudaraku dalam Ordo, dan kepada semua yang akan masuk Ordo ini sampai akhir dunia. Dan karena aku tidak dapat berbicara banyak disebabkan oleh kelemahanku dan rasa sakit dari penyakitku, aku ingin secara singkat membuat kehendak dan tujuanku jelas bagi semua saudara, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang di kemudian hari. Sebagai sebuah tanda bahwa mereka mengingat aku, berkatku dan Wasiatku, aku ingin mereka untuk selalu mengasihi satu sama lain, sebagaimana aku telah mengasihi mereka. Hendaklah mereka selalu mengasihi dan menghormati Tuan Puteri Kemiskinan kita, dan tetap setia serta taat kepada para uskup dan klerus dari Bunda Gereja yang kudus.’
Pada setiap penutupan kapitel, Bapa kita selalu memberkati dan mengampuni semua saudara dalam Ordo, baik yang ada pada masa itu maupun yang akan datang, dan dengan semangat penuh gairah kasihnya dia sering melakukan hal itu di luar kapitel. Namun dia biasa mengingatkan para saudara bahwa mereka harus waspada jangan sampai memberi contoh buruk, dan dia mengutuk semua yang karena contoh buruk mereka menyebabkan orang-orang berbicara buruk tentang Ordo dan kehidupan para saudara, karena para saudara yang baik dan suci menjadi dipermalukan dan berada dalam kesukaran besar disebabkan oleh perilaku sedemikian.
Sumber: Speculum Perfectionis seu S. Francisci Assisiensis legenda antiquissima auctore fratre Leone nunc primum eidit Paul Sabatier. English version: Mirror of Perfection by Leo Sherley-Price, dalam OMNIBUS, butir 87, hal. 1220-1221.
Cilandak, 9 Oktober 2010
Terjemahan bebas oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Sumber: http://ofsindonesia.weebly.com/16/post/2013/02/6tiga-pesan-akhir-fransiskus-kepada-para-saudara.html
SANTO FRANSISKUS DAN SULTAN MESIR: TESTIMONI ABAD KE-13
Minister
Jendral (S. Bonaventura) mengatakan kepada kami: Ini adalah beberapa
anekdot yang diceritakan oleh Saudara Illuminato kepada kami, saudara
itu adalah yang menemani Santo Fransiskus pada waktu mengunjungi sultan
Mesir.
Pada suatu hari sultan ingin menguji iman dan semangat-penuh-gairah Santo Fransiskus yang ditunjukkannya kepada Tuhan yang tersalib. Sultan memiliki karpet yang indah dan berwarna-warni dan dia pun menyuruh orang untuk menghamparkan karpet itu di atas lantai. Karpet itu hampir seluruhnya didekorasi dengan motif-motif dalam bentuk salib. Sultan berkata kepada orang-orang yang hadir: “Jemputlah orang itu yang kelihatannya seorang Kristiani sejati. Apabila ketika berjalan menuju kepadaku dia berjalan di atas karpet yang penuh dengan gambar salib ini, kita akan mengatakan kepadanya bahwa dia menghina Tuhannya. Sebaliknya apabila dia menolak berjalan di atas karpet, maka aku akan bertanya mengapa dia menghina karena tidak mau mendekat kepadaku.” Lalu manusia yang dipenuhi Allah itu dipanggil. Orang ini menerima instruksi untuk tindakan-tindakan yang diambilnya dan juga kata-kata yang diucapkannya dari Allah sendiri: dia berjalan di atas karpet mendekati sultan. Sultan berpikir bahwa inilah kesempatan baginya untuk ‘menyerang’ hamba Allah itu dengan menghinanya. Sultan berkata kepada Fransiskus: “Kamu orang-orang Kristiani menyembah salib sebagai sebuah tanda istimewa Allahmu; kalau begitu, mengapa kamu berani-beraninya menginjak-injak salib-salib yang ditenun dalam karpet itu? Fransiskus menjawab pertanyaan sultan begini: “pencuri-pencuri (penjahat-penjahat) juga disalibkan bersama Tuhan kami. Kami memiliki salib sejati dari Tuhan dan Juruselamat kami Yesus Kristus; kami menyembahnya dan menunjukkan sembah bakti kami yang besar kepada salib itu. Kalau salib suci Tuhan telah diberikan kepada kami, maka salib penjahat-penjahat itu telah ditinggalkan sebagai bagian anda. Itulah sebabnya mengapa saya tidak merasa bersalah samasekali menginjak-injak lambang-lambang para penjahat itu.
Sultan yang sama memberikan persoalan berikut ini kepada Fransiskus untuk dipecahkan: “Tuhanmu mengajarkan dalam Injil-Injilnya bahwa kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan; dan engkau harus menyerahkan jubahmu juga kalau ada orang yang menginginkan bajumu, dst. (Mt 5:39-40 dsj.). Dalam hal itu, maka orang-orang Kristiani tidak diperkenankan menyerbu dan menduduki tanah kami, kan?” Santo Fransiskus menjawab: “Kelihatannya Pak sultan belum membaca Injil Tuhan kami Yesus Kristus dengan lengkap. Di bagian lain Injil kita membaca: Jika matamu yang kanan menyebabkan engkau berdosa, cungkillah dan buanglah itu (Mat 5:29). Di sini dia ingin mengajar kepada kita bahwa setiap manusia, bagaimana pun dia sangat berharga dan dia dekat kepada kita, dan bahkan kalau dia begitu berharga bagi kita bagaikan biji mata, haruslah dicungkil dan dibuang, jika dia berupaya untuk membuat kita menyimpang dari iman dan cintakasih kepada Allah kita. Oleh karena itu adillah bagi orang-orang Kristiani untuk menyerbu dan menduduki tanah yang anda diami, karena anda menghujat nama Kristus dan sedapat mungkin mengasingkan setiap orang dari sembah-bakti kepada-Nya. Namun, apabila Pak Sultan mau mengenal dan menerima, mengakui, dan menyembah sang Pencipta dan Penebus, maka orang-orang Kristiani akan mengasihi Pak Sultan sebagai diri mereka sendiri ……” Semua yang hadir kagum mendengar jawaban Santo Fransiskus.
Sumber: Paul Oligny OFM (translator), THIRTEEN-CENTURY TESTIMONIES, dalam Marion A. Habig, ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES – English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis, Quincy, Illinois: Franciscan Press, Quincy College, 1991, hal. 1597-1617, khususnya no. 13, hal. 1614-1615).
[translated from T. Desmonnets & D. Vorreux OFM (editors), Saint François D’Assise: Documents, Écrits et Premières Biographies (Paris, 1968), hal. 1433-1451]
Cilandak, 15 Oktober 2010 [Peringatan Santa Teresa dari Avila, Perawan & Pujangga Gereja]
Terjemahan bebas oleh Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
Sumber :http://ofsindonesia.weebly.com/16/post/2013/02/7-santo-fransiskus-dan-sultan-mesir-testimoni-abad-ke-13.html
Langganan:
Postingan (Atom)