Completorium atau Ibadat Penutup merupakan bagian dari Ibadat Harian.
Ibadat Harian merupakan terjemahan dari kata (Liturgia Horarum – har :
Liturgi Waktu) yang dikenal pula dengan nama-nama lain seperti : Ofisi
Ilahi (Officium Divinum), dan doa Brevir. Ibadat Harian mempunyai akar
yang sangat panjang dan dalam dalam tradisi Judaisme maupun setelah
“dikristenkan” oleh praktek Jemaat Gereja Perdana.
Apa itu Ibadat Harian?
Dalam Puji Syukur, pada bagian KEBIASAAN ORANG KRISTEN salah satunya dikatakan adalah Melaksanakan Ibadah Harian. Dalam hal ini Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II mengatakan: Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian (SC 83). Sebelum menjawab apa itu Ibadat harian – ada baiknya kita mengenal sekilas sejarah Ibadat Harian.
SELINTAS SEJARAH IBADAT HARIAN
Asal Mula Ibadat Harian
Dalam tradisi bangsa Yahudi, sepanjang kurun waktu pagi, siang dan malam disucikan bagi Allah.
Awal mulanya, atas perintah Allah kepada para imam, penyucian hari dilakukan melalui kurban sembelihan pada pagi dan petang hari (Kel. 29:38-39 – bdk, Bil. 28:3-8, 1Raja 18:36). Praktek ini terus berlangsung hingga ke Bait Allah di Jerusalem. Dan selanjutnya di masa pembuangan Babilon, dimana Bait Allah dihancurkan, praktek ini digantikan dengan pembacaan Torah, mazmur dan madah pujian di sinagoga-sinagoga. Kurban Pujian menggantikan kurban sembelihan.
Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan gampang kita temukan dalam ungkapan-ungkapan perjanjian lama terutama dalam “kitab doa” mereka, yaitu kitab Mazmur, misal :
- Mzm 5:4 TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu
- Mzm 88:14 Tetapi aku ini, ya TUHAN, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai dalam Ibadat Penutup hari Jumat)
- Mzm 119:164 Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil
- Mzm 141:2 Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.
Umat Israel pada masa pembuangan juga memiliki kebiasaan berdoa pada jam-jam tertentu (lih. Dan 6:10;6:13)
Setelah masa pembuangan dan sisa Israel kembali ke Yudea, kurban pujian ini tetap dilakukan di Bait Allah yang dibangun kembali.
Dan pada saat penjajahan Romawi, kaum Yahudi mulai mengikuti sistem pembagian waktu romawi dalam melaksanakan roda bisnis dan juga kehidupan sehari-hari, termasuk dalam waktu berdoa. Di kota-kota jajahan Romawi, terdapat bel di pasar/tengah kota sebagai penanda jam kerja. Bel mulai berbunyi kira-kira jam enam pagi, sembilan dan jam ketiga di tengah hari untuk menandai saat makan siang, dan selanjutnya untuk memanggil orang-orang untuk kembali bekerja di jam satu siang jam tiga siang hingga akhirnya bel berbunyi terakhir kalinya pukul enam sore untuk menutup waktu kerja.
Jemaat Kristen perdana meneruskan tradisi Yahudi dalam melambungkan doa-doa pada waktu-waktu tertentu di sepanjang hari – dan dengan pengaruh pengaturan waktu versi Romawi di atas. Yesus dan Para Rasul menjalankan kebiasaan Yahudi ini. Injil suci kerap kali mengisahkan Yesus sedang berdoa : bdk. Luk 3:21-22, Luk 6:12, Mat 4:19; 15:36, Luk 9:28-29; Yoh 11:41,dst; Luk 9:18 ; Luk 11:1; Mat 11:25; Mat 19:13; Luk 22:32. Hidup Yesus sehari-hari selalu berhubungan erat dengan doa – bahkan mengalir daripadanya: bdk. Mrk 1:35, Luk 5:16 lih Mat 4:1, Mat 14:23; Mrk 1:35; Mat 14:23.25; Mrk 6:46,dst.
Mereka berdoa pada waktu-waktu tertentu : pada jam tiga, jam enam dan jam sembilan serta di tengah malam hari (bdk. Kis 10:3, 9; 16:25, dll). Mukjijat pertama yang dilakukan para rasul, menyembuhkan orang lumpuh di tangga Bait Allah terjadi saat Petrus dan Yohanes bergegas menuju Bait Allah untuk berdoa (bdk. Kis 3:1). Juga satu moment sangat penting yang diputuskan oleh jemaat perdana, yaitu menerima “bangsa-bangsa kafir” sebagai bagian dari umat Allah terjadi setelah visiun yang dialami Petrus saat dia berdoa di siang hari (bdk. Kis 10:9-49).
Selanjutnya, ketika Kristianitas mulai terpisah dari Judaisme (ditandai dengan hancurnya Bait Allah Yerusalem tahun 70), praktek berdoa di saat-saat tertentu (baca: penyucian waktu) ini terus berlanjut. Doa-doa jemaat Kristen Perdana tetap berisikan elemen yang hampir sama dengan apa yang dilakukan bangsa Yahudi : mengulang-ulang atau menyanyikan (mendaraskan) mazmur, membaca kitab suci, (Kis 4:23-30) dan pada kemudian hari ditambahkan dengan madah kemuliaan serta beberapa elemen yang lainnya.
Para Bapa Gereja – Abad Pertengahan – Konsili Trente hingga Revisi Paus Pius V
Penetapan waktu doa selain dituliskan dalam Alkitab juga terdapat dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan kitab-kitab Apokrif. Kitab Didache (95M) menyebut “orismenois kairois kai horeis” (“waktu-waktu dan jam-jam tertentu untuk sembahyang”). Rujukan tentang hal ini juga termuat dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380) dan Bapa Gereja. Basilius Agung (330 – 379) dalam “Regulae Fusius Tractate”, yang bahkan menyebutkan bahwa penetapan waktu-waktu sembahyang itu telah dilakukan di Yerusalem oleh Para Rasul sendiri.
Hampir semua Bapa Gereja menulis tentang tradisi penyucian waktu ini, baik dari Gereja Timur seperti Bapa Gereja Yohanes Krisostomos (354 – 407), maupun di Gereja Barat seperti St. Hieronimus (340 – 420). St.Agustinus dari Hippo dalam Regula-nya (aturan hidup membiara) yang pertama di dunia Barat (ditulis sekitar tahun 397), menganjurkan pada para rahib dan rabib/ rubiah : “Untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan”. Pada abad ketiga, para Bapa Padang Gurun (rahib awali) memulai hidup pertapa untuk memenuhi anjuran St. Paulus agar “berdoa tanpa henti” (I Tes 5:17). Dan mereka melakukan praktek doa ini secara berkelompok.
Di Gereja Timur, perkembangan Ibadat Harian ini beralih dari sekitar Jerusalem menuju Konstantinopel. St. Theodorus (758-826) mengkombinasikan doa ini dengan beberapa pengaruh dari Byzantium dan menambahkan beberapa madah gubahannya sendiri.
Di Gereja Barat, St. Benediktus Nursia dalam regulanya yang terkenal memberikan panduan tentang praktek doa ibadat harian ini. St. Benediktus pula yang dengan tajam menandaskan bahwa konsep doa Kristen tidaklah terpisah antara hidup rohani dan hidup jasmani. Ungkapan Beliau yang sangat terkenal adalah “Orare est laborare, laborare est orare” (“To pray is to work, to work is to pray”). Pada masa Beliau juga doa ibadat harian disebut sebagai doa Ofisi Ilahi (Officium Divinum). Officium berarti karya (Opus) – Divinum berarti Ilahi (Dei). Para pengikut Benediktine menyebut doa ini sebagai Opus Dei atau “Work of God.” (Karya Allah).
Pada perkembangannya format doa Ibadat Harian berkembang pesat dalam praktek hidup monastik Kristiani baik di barat dan di timur. Di abad keempat praktek doa ibadat harian ini telah mendapatkan bentuknya yang lebih pasti, baik untuk kaum monastik, imam sekuler, maupun umat awam. Dan karena perkembangan ini pula dibutuhkan buku panduan doa yang kurang lebih lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan gereja saat itu. Awalnya buku panduan doa itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Satu buku berisikan kumpulan mazmur, lain lagi buku berikan kumpulan madah, buku Injil untuk bacaan Kitab Suci, dan sebagainya. Cukup ribet. Belum lagi ditambah dengan perkembangan umat sistem parokial yang secara geografis semakin jauh dari Katedral atau Basilika. Hingga akhirnya disusunlah versi sederhana dari doa-doa ibadat harian itu dalam satu buku yang disebut Brevir (latin har. berarti pendek). Brevir ini akhirnya dikenal luas hingga di masa Konsili Trente yang menghendaki adanya perubahan agar lebih efektif dan terlepas dari unsur-unsur mitos di dalam madah-madahnya.
Konsili Trente (13 Desember 1545 – 4 Desember 1563), dalam pertemuan finalnya 4 Desember 1563 mempercayakan reformasi brevir ini kepada Paus Pius IV. Dan pada tanggal 9 Juli 1568 – Paus Pius V (pengganti Pius IV) mengumumkan sebuah edisi revisi yang kemudian dikenal dengan sebutan Brevir Romawi. Dalam keputusan apostoliknya, Quod a nobis, dengan tegas ditandaskan larangan untuk menambahkan atau pun menghilangkan satu titik pun di dalam brevir tersebut (hal yang sama dilakukannya untuk buku Roman Missal dalam bulla Quo primum) agar tidak terkena murka Allah. “No one whosoever is permitted to alter this letter or heedlessly to venture to go contrary to this notice of Our permission, statute, ordinance, command, precept, grant, indult declaration, will decree and prohibition. Should anyone, however, presume to commit such an act, he should know that he will incur the wrath of Almighty God and of the Blessed Apostles Peter and Paul.” (In Defense of the Pauline Mass).
Konsili Vatikan II
34 tahun setelah revisi Paus Puis V, Paus Clement VIII melakukan perubahan atas brevir tersebut. Setelahnya, Paus Urban VIII dan Pius X juga melakukan perubahan yang cukup significant. Hal yang sama juga dilakukan oleh Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII di tahun 1960.
Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga sebelum konsili vatican II, doa ibadat harian terdiri atas:
- Matutinum : Ibadat tengah malam (Vigile)
- Laudes (ps 148, 149, 150) dilakukan saat fajar menyingsing
- Primus – doa diawal pagi (jam 6)
- Tertia – Doa di awal tengah hari (jam 9)
- Sexta – doa tengah hari (jam 12 siang tepat)
- Nona – Doa setelah tengah hari (pk. 15.00)
- Vesper – doa sore (saat matahari tenggelam dan lampu-lampu mulai dinyalakan)
- Completorium – doa penutup hari.
Konsili Vatikan II melakukan penyederhanaan pada jam-jam kanonik Ibadat harian dan menjadikannya lebih mudah dilakukan pula oleh para awam dengan harapan untuk menggembalikan kembali karakter Ibadat Harian sebagai doa seluruh Gereja (bukan monoplogi biarawan/wati saja).
Konsili menghapuskan doa primus (digabungkan dengan Laudes) dan mengubah karakter Matutinum menjadi Ibadat Bacaan sehingga dapat dilakukan di setiap waktu. Lebih jauh lagi, konsili melakukan penataan ulang sehingga mazmur-mazmur secara keseluruhan bisa didoakan selama empat minggu (sebelumnya hanya satu minggu!).
Sejak Konsili Vatikan II pula, nama Roman Breviary diganti dengan sebutan Liturgy of the Hours / Ibadat Harian (Liturgia Horarum) yang terbagi dalam empat volume sesuai dengan Kalender Liturgi gereja:
• Volume I: Adven & Natal
• Volume II: Prapaskah dan Trihari Suci serta Masa Paska
• Volume III: Minggu Biasa 1 sampai 17
• Volume IV: Minggu Biasa 18 sampai 34
Saat ini, praktek Ibadat Harian dalam Gereja katolik Roma meliputi :
- Ibadat Pembukaan (merupakan ibadat pertama pada hari tersebut, bisa dalam Ibadat Bacaan atau Ibadat Pagi)
- Ibadat Bacaan (Matutinum)
- Ibadat Pagi (Laudes)
- Ibadat Siang, terdiri atas :
• Tertia (Ibadat sebelum tengah hari)
• Sextia (Ibadat tepat tengah hari)
• Nona (Ibadat setelah tengah hari)
- Ibadat Sore (Vesper)
- Ibadat Malam (Completorium)
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Gambar : http://tradisikatolik.blogspot.com/
Apa itu Ibadat Harian?
Dalam Puji Syukur, pada bagian KEBIASAAN ORANG KRISTEN salah satunya dikatakan adalah Melaksanakan Ibadah Harian. Dalam hal ini Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II mengatakan: Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian (SC 83). Sebelum menjawab apa itu Ibadat harian – ada baiknya kita mengenal sekilas sejarah Ibadat Harian.
SELINTAS SEJARAH IBADAT HARIAN
Asal Mula Ibadat Harian
Dalam tradisi bangsa Yahudi, sepanjang kurun waktu pagi, siang dan malam disucikan bagi Allah.
Awal mulanya, atas perintah Allah kepada para imam, penyucian hari dilakukan melalui kurban sembelihan pada pagi dan petang hari (Kel. 29:38-39 – bdk, Bil. 28:3-8, 1Raja 18:36). Praktek ini terus berlangsung hingga ke Bait Allah di Jerusalem. Dan selanjutnya di masa pembuangan Babilon, dimana Bait Allah dihancurkan, praktek ini digantikan dengan pembacaan Torah, mazmur dan madah pujian di sinagoga-sinagoga. Kurban Pujian menggantikan kurban sembelihan.
Jejak-jejak tradisi penyucian waktu ini dengan gampang kita temukan dalam ungkapan-ungkapan perjanjian lama terutama dalam “kitab doa” mereka, yaitu kitab Mazmur, misal :
- Mzm 5:4 TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu
- Mzm 88:14 Tetapi aku ini, ya TUHAN, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan pada waktu pagi doaku datang ke hadapan-Mu (Mazmur ini dipakai dalam Ibadat Penutup hari Jumat)
- Mzm 119:164 Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil
- Mzm 141:2 Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang.
Umat Israel pada masa pembuangan juga memiliki kebiasaan berdoa pada jam-jam tertentu (lih. Dan 6:10;6:13)
Setelah masa pembuangan dan sisa Israel kembali ke Yudea, kurban pujian ini tetap dilakukan di Bait Allah yang dibangun kembali.
Dan pada saat penjajahan Romawi, kaum Yahudi mulai mengikuti sistem pembagian waktu romawi dalam melaksanakan roda bisnis dan juga kehidupan sehari-hari, termasuk dalam waktu berdoa. Di kota-kota jajahan Romawi, terdapat bel di pasar/tengah kota sebagai penanda jam kerja. Bel mulai berbunyi kira-kira jam enam pagi, sembilan dan jam ketiga di tengah hari untuk menandai saat makan siang, dan selanjutnya untuk memanggil orang-orang untuk kembali bekerja di jam satu siang jam tiga siang hingga akhirnya bel berbunyi terakhir kalinya pukul enam sore untuk menutup waktu kerja.
Jemaat Kristen perdana meneruskan tradisi Yahudi dalam melambungkan doa-doa pada waktu-waktu tertentu di sepanjang hari – dan dengan pengaruh pengaturan waktu versi Romawi di atas. Yesus dan Para Rasul menjalankan kebiasaan Yahudi ini. Injil suci kerap kali mengisahkan Yesus sedang berdoa : bdk. Luk 3:21-22, Luk 6:12, Mat 4:19; 15:36, Luk 9:28-29; Yoh 11:41,dst; Luk 9:18 ; Luk 11:1; Mat 11:25; Mat 19:13; Luk 22:32. Hidup Yesus sehari-hari selalu berhubungan erat dengan doa – bahkan mengalir daripadanya: bdk. Mrk 1:35, Luk 5:16 lih Mat 4:1, Mat 14:23; Mrk 1:35; Mat 14:23.25; Mrk 6:46,dst.
Mereka berdoa pada waktu-waktu tertentu : pada jam tiga, jam enam dan jam sembilan serta di tengah malam hari (bdk. Kis 10:3, 9; 16:25, dll). Mukjijat pertama yang dilakukan para rasul, menyembuhkan orang lumpuh di tangga Bait Allah terjadi saat Petrus dan Yohanes bergegas menuju Bait Allah untuk berdoa (bdk. Kis 3:1). Juga satu moment sangat penting yang diputuskan oleh jemaat perdana, yaitu menerima “bangsa-bangsa kafir” sebagai bagian dari umat Allah terjadi setelah visiun yang dialami Petrus saat dia berdoa di siang hari (bdk. Kis 10:9-49).
Selanjutnya, ketika Kristianitas mulai terpisah dari Judaisme (ditandai dengan hancurnya Bait Allah Yerusalem tahun 70), praktek berdoa di saat-saat tertentu (baca: penyucian waktu) ini terus berlanjut. Doa-doa jemaat Kristen Perdana tetap berisikan elemen yang hampir sama dengan apa yang dilakukan bangsa Yahudi : mengulang-ulang atau menyanyikan (mendaraskan) mazmur, membaca kitab suci, (Kis 4:23-30) dan pada kemudian hari ditambahkan dengan madah kemuliaan serta beberapa elemen yang lainnya.
Para Bapa Gereja – Abad Pertengahan – Konsili Trente hingga Revisi Paus Pius V
Penetapan waktu doa selain dituliskan dalam Alkitab juga terdapat dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja dan kitab-kitab Apokrif. Kitab Didache (95M) menyebut “orismenois kairois kai horeis” (“waktu-waktu dan jam-jam tertentu untuk sembahyang”). Rujukan tentang hal ini juga termuat dalam Dokumen Konstitusi Rasuli (380) dan Bapa Gereja. Basilius Agung (330 – 379) dalam “Regulae Fusius Tractate”, yang bahkan menyebutkan bahwa penetapan waktu-waktu sembahyang itu telah dilakukan di Yerusalem oleh Para Rasul sendiri.
Hampir semua Bapa Gereja menulis tentang tradisi penyucian waktu ini, baik dari Gereja Timur seperti Bapa Gereja Yohanes Krisostomos (354 – 407), maupun di Gereja Barat seperti St. Hieronimus (340 – 420). St.Agustinus dari Hippo dalam Regula-nya (aturan hidup membiara) yang pertama di dunia Barat (ditulis sekitar tahun 397), menganjurkan pada para rahib dan rabib/ rubiah : “Untuk bertekun dengan setia dalam doa pada jam-jam dan waktu-waktu yang telah ditentukan”. Pada abad ketiga, para Bapa Padang Gurun (rahib awali) memulai hidup pertapa untuk memenuhi anjuran St. Paulus agar “berdoa tanpa henti” (I Tes 5:17). Dan mereka melakukan praktek doa ini secara berkelompok.
Di Gereja Timur, perkembangan Ibadat Harian ini beralih dari sekitar Jerusalem menuju Konstantinopel. St. Theodorus (758-826) mengkombinasikan doa ini dengan beberapa pengaruh dari Byzantium dan menambahkan beberapa madah gubahannya sendiri.
Di Gereja Barat, St. Benediktus Nursia dalam regulanya yang terkenal memberikan panduan tentang praktek doa ibadat harian ini. St. Benediktus pula yang dengan tajam menandaskan bahwa konsep doa Kristen tidaklah terpisah antara hidup rohani dan hidup jasmani. Ungkapan Beliau yang sangat terkenal adalah “Orare est laborare, laborare est orare” (“To pray is to work, to work is to pray”). Pada masa Beliau juga doa ibadat harian disebut sebagai doa Ofisi Ilahi (Officium Divinum). Officium berarti karya (Opus) – Divinum berarti Ilahi (Dei). Para pengikut Benediktine menyebut doa ini sebagai Opus Dei atau “Work of God.” (Karya Allah).
Pada perkembangannya format doa Ibadat Harian berkembang pesat dalam praktek hidup monastik Kristiani baik di barat dan di timur. Di abad keempat praktek doa ibadat harian ini telah mendapatkan bentuknya yang lebih pasti, baik untuk kaum monastik, imam sekuler, maupun umat awam. Dan karena perkembangan ini pula dibutuhkan buku panduan doa yang kurang lebih lengkap dan bisa memenuhi kebutuhan gereja saat itu. Awalnya buku panduan doa itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Satu buku berisikan kumpulan mazmur, lain lagi buku berikan kumpulan madah, buku Injil untuk bacaan Kitab Suci, dan sebagainya. Cukup ribet. Belum lagi ditambah dengan perkembangan umat sistem parokial yang secara geografis semakin jauh dari Katedral atau Basilika. Hingga akhirnya disusunlah versi sederhana dari doa-doa ibadat harian itu dalam satu buku yang disebut Brevir (latin har. berarti pendek). Brevir ini akhirnya dikenal luas hingga di masa Konsili Trente yang menghendaki adanya perubahan agar lebih efektif dan terlepas dari unsur-unsur mitos di dalam madah-madahnya.
Konsili Trente (13 Desember 1545 – 4 Desember 1563), dalam pertemuan finalnya 4 Desember 1563 mempercayakan reformasi brevir ini kepada Paus Pius IV. Dan pada tanggal 9 Juli 1568 – Paus Pius V (pengganti Pius IV) mengumumkan sebuah edisi revisi yang kemudian dikenal dengan sebutan Brevir Romawi. Dalam keputusan apostoliknya, Quod a nobis, dengan tegas ditandaskan larangan untuk menambahkan atau pun menghilangkan satu titik pun di dalam brevir tersebut (hal yang sama dilakukannya untuk buku Roman Missal dalam bulla Quo primum) agar tidak terkena murka Allah. “No one whosoever is permitted to alter this letter or heedlessly to venture to go contrary to this notice of Our permission, statute, ordinance, command, precept, grant, indult declaration, will decree and prohibition. Should anyone, however, presume to commit such an act, he should know that he will incur the wrath of Almighty God and of the Blessed Apostles Peter and Paul.” (In Defense of the Pauline Mass).
Konsili Vatikan II
34 tahun setelah revisi Paus Puis V, Paus Clement VIII melakukan perubahan atas brevir tersebut. Setelahnya, Paus Urban VIII dan Pius X juga melakukan perubahan yang cukup significant. Hal yang sama juga dilakukan oleh Paus Pius XII dan Paus Yohanes XXIII di tahun 1960.
Pada perkembangannya sejak akhir abad kelima hingga sebelum konsili vatican II, doa ibadat harian terdiri atas:
- Matutinum : Ibadat tengah malam (Vigile)
- Laudes (ps 148, 149, 150) dilakukan saat fajar menyingsing
- Primus – doa diawal pagi (jam 6)
- Tertia – Doa di awal tengah hari (jam 9)
- Sexta – doa tengah hari (jam 12 siang tepat)
- Nona – Doa setelah tengah hari (pk. 15.00)
- Vesper – doa sore (saat matahari tenggelam dan lampu-lampu mulai dinyalakan)
- Completorium – doa penutup hari.
Konsili Vatikan II melakukan penyederhanaan pada jam-jam kanonik Ibadat harian dan menjadikannya lebih mudah dilakukan pula oleh para awam dengan harapan untuk menggembalikan kembali karakter Ibadat Harian sebagai doa seluruh Gereja (bukan monoplogi biarawan/wati saja).
Konsili menghapuskan doa primus (digabungkan dengan Laudes) dan mengubah karakter Matutinum menjadi Ibadat Bacaan sehingga dapat dilakukan di setiap waktu. Lebih jauh lagi, konsili melakukan penataan ulang sehingga mazmur-mazmur secara keseluruhan bisa didoakan selama empat minggu (sebelumnya hanya satu minggu!).
Sejak Konsili Vatikan II pula, nama Roman Breviary diganti dengan sebutan Liturgy of the Hours / Ibadat Harian (Liturgia Horarum) yang terbagi dalam empat volume sesuai dengan Kalender Liturgi gereja:
• Volume I: Adven & Natal
• Volume II: Prapaskah dan Trihari Suci serta Masa Paska
• Volume III: Minggu Biasa 1 sampai 17
• Volume IV: Minggu Biasa 18 sampai 34
Saat ini, praktek Ibadat Harian dalam Gereja katolik Roma meliputi :
- Ibadat Pembukaan (merupakan ibadat pertama pada hari tersebut, bisa dalam Ibadat Bacaan atau Ibadat Pagi)
- Ibadat Bacaan (Matutinum)
- Ibadat Pagi (Laudes)
- Ibadat Siang, terdiri atas :
• Tertia (Ibadat sebelum tengah hari)
• Sextia (Ibadat tepat tengah hari)
• Nona (Ibadat setelah tengah hari)
- Ibadat Sore (Vesper)
- Ibadat Malam (Completorium)
Sumber : http://parokisalibsuci.org/
Gambar : http://tradisikatolik.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar