Kesaksian (Rm. Gani Sukarsono CM)
Anak gadis di depanku tampak kebingungan. Dia bercerita ingin menikah
di gereja, tapi pacarnya bukan beragama Katolik. Kujelaskan bahwa itu
bisa diselesaikan dengan nikah campur. Maka kujelaskan semua persyaratan
nikah campur. Ketika kukatakan bahwa dalam pernikahan itu tidak harus
suaminya menjadi Katolik, gadis ini protes. Dia mengatakan bahwa
pacarnya suka membaca Injil dan mempelajari kekatolikan dengan serius,
tapi dia tidak mau menjadi Katolik sebab melihat bahwa banyak orang
Katolik tidak menjalankan ajaran Katolik. Mereka hanya dibaptis saja
tanpa perubahan sikap hidupnya. Aku sarankan agar pacarnya masuk saja
menjadi Katolik dan mengadakan perubahan dengan menunjukan pada orang
Katolik bagaimana seharusnya hidup sebagai orang Katolik.
Setelah gadis itu pulang aku memikirkan hal ini. Aku teringat salah satu
tokoh yang aku idolakan yaitu Mahatma Gandhi. Salah satu orang suci
yang hidup pada abad ini. Keseluruhan hidupnya dibaktikan untuk
membebaskan bangsanya dari penjajahan Inggris. Ajarannya penuh dengan
kasih sayang. Gandhi mendasarkan ajarannya pada ajaran Yesus yang
dipadukan dengan ajaran Hindhu. Ajaran Yesus yang sangat digemari bahkan
menjadi dasar ajarannya ialah kotbah di bukit. Gandhi menganggumi Yesus
dan seluruh ajaranNya, tapi Gandhi tidak mau menjadi Kristen sebab
melihat orang Kristen, yang diwakili wajah bangsa Inggris dan Eropa
lainnya, adalah orang yang kejam dan menindas. Orang yang melihat bahwa
bangsa berkulit coklat adalah warga masyarakat kelas dua.
Dalam hidup beragama memang sering terjadi konflik antara beragama,
yaitu memeluk agama atau masuk dalam agama tertentu dengan beriman yaitu
menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya dengan penuh konsekwensi.
Banyak orang memeluk agama terntentu tapi sikap hidupnya tidak
mencerminkan ajaran agama yang dipeluknya. Atau dia hanya memilih ajaran
yang mudah dijalankan, sedang yang sulit dilakukan ditinggalkan meski
yang sulit itu adalah dasar-dasar agamanya. Ada beberapa alasan yang
membuat orang beragama macam ini. Dia memeluk agama demi kewajiban di
suatu masyarakat bahwa semua orang harus beragama. Banyak orang
Indonesia yang takut disebut komunis (padahal orang komunis belum tentu
atheis) maka dia memeluk salah satu agama yang telah ditentukan
pemerintah. Ini juga suatu yang aneh, dimana pemerintah ikut menentukan
agama. Ada orang memeluk agama karena tradisi, dimana orang tuanya sudah
beragama itu, maka anaknya harus beragama itu. Agama bukan lagi suatu
panggilan bebas manusia melainkan ditentukan oleh orang tua. Ada juga
orang beragama karena semua masyarakat sudah beragama seperti itu. Agama
sudah menjadi suatu budaya dalam suatu masyarakat. Ada juga orang yang
beragama karena ikut-ikutan teman atau saudaranya.
Akibat
hidup beragama macam inilah maka munculah konflik antara beragama dan
beriman. Beragama sebetulnya bukan hanya sekedar percaya akan adanya
Tuhan, melainkan keberanian untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran
Tuhannya dengan sungguh-sungguh. Yakobus dalam suratnya dengan tegas
membedakan orang beragama dengan beriman. “Kamu percaya bahwa hanya ada
satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal
itu dan mereka gemetar.” (Yak 2:18). Disini Yakobus berbicara dalam
konteks iman dan perbuatan. Iman harus terwujud dalam perbuatan. Suatu
hari murid-murid Yohanes datang pada Yesus dan bertanya apakah Dia
adalah yang ditunggu atau mereka harus menunggu yang lain lagi? Yesus
tidak menjawab ya dan tidak, melainkan Dia bersabda “Pergilah dan
katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan lihat.” (Mat 11:4).
Lalu Yesus menunjukan apa saja yang sudah dibuatNya.
Beriman
tidak cukup hanya dengan mengakui Tuhan sebagai Bapa atau dibaptis atau
bahkan misa seminggu sekali. Beriman lebih luas dari itu. Tercermin
dalam sikap hidup sehari-hari. Ukuran iman seseorang tampak dalam
bagaimana seseorang itu menjalani hidupnya. Dalam tingkah laku dan
keputusan-keputusan dalam hidupnya. Akan arah jalan yang dipilihnya.
“Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi
kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku.” (Yoh 5:36). Orang
bisa melihat bahwa Yesus adalah utusan Bapa dari pekerjaan yang telah
dilakukanNya. Sikap hidup Yesus adalah kesaksian nyata bahwa Dia utusan
Bapa. Tapi rupanya orang Yahudi terlalu sibuk menyelidiki Kitab Suci
sehingga tidak percaya, maka dikecam tidak akan memperoleh hidup yang
kekal.
Beriman tidak lepas dari tingkah laku dan sikap hidup
seseorang. Bagaimana cara hidup seseorang merupakan kesaksian akan iman.
Kesaksian akan siapakah yang mengutusnya. Kesaksian sejauh mana dia
hidup dalam iman. Namun hal ini sering kuran diperhatikan. Seandainya
Gandhi melihat dan berteman dengan Ibu Teresa, mungkin dia akan berpikir
lain lagi mengenai kekristenan. Sayang dua tokoh besar yang hidup dalam
satu negara itu hidup dalam waktu yang berbeda meski hanya selisih
beberapa tahun saja.
Meski sudah banyak pelajaran mengenai
keterkaitan antara iman dan perbuatan, namun sayang masih banyak orang
yang sudah merasa memiliki surga hanya dengan membaca Kitab Suci, bahkan
hafal diluar kepala isi Kitab Suci. Dia bisa dengan mudah mengutip
ayat-ayat suci, namun lupa untuk mengaktualisasikannya. Dia tetap hidup
seperti sebelum beriman bukan memberi kesaksian tentang imannya. Hidup
berdasarkan ajaran Kitab Suci. Kalau toh dia mengambil ayat sebagai
pegangan hidup, maka dipilih ayat-ayat yang membuatnya senang atau
menguntungkan. Tetap ayat yang dianggap berat dilupakan. Orang lebih
suka ayat Mat 7:7-11 daripada Mat 19:21. orang lebih suka ayat Mat 19:29
daripada Yoh 13:34-35. Masih banyak lagi daftar ayat favorit namun juga
ayat yang perlu dihapus dari Kitab Suci sebab terlalu berat.
Seandainya Gereja konsisten dan konsekwen melaksanakan ajaran Yesus
dapat dipastikan bahwa Gereja akan berkembang. Banyak orang akan percaya
bahwa Yesuslah penyelamat dengan melihat sikap hidup para anggota
Gereja, orang yang secara eksplisit menyatakan diri bergabung dengan
komunitas yang dibangun Yesus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar