Kamera 1

Jumat, 18 Mei 2012

Kesaksian (Rm. Gani Sukarsono CM)


Anak gadis di depanku tampak kebingungan. Dia bercerita ingin menikah di gereja, tapi pacarnya bukan beragama Katolik. Kujelaskan bahwa itu bisa diselesaikan dengan nikah campur. Maka kujelaskan semua persyaratan nikah campur. Ketika kukatakan bahwa dalam pernikahan itu tidak harus suaminya menjadi Katolik, gadis ini protes. Dia mengatakan bahwa pacarnya suka membaca Injil dan mempelajari kekatolikan dengan serius, tapi dia tidak mau menjadi Katolik sebab melihat bahwa banyak orang Katolik tidak menjalankan ajaran Katolik. Mereka hanya dibaptis saja tanpa perubahan sikap hidupnya. Aku sarankan agar pacarnya masuk saja menjadi Katolik dan mengadakan perubahan dengan menunjukan pada orang Katolik bagaimana seharusnya hidup sebagai orang Katolik.

Setelah gadis itu pulang aku memikirkan hal ini. Aku teringat salah satu tokoh yang aku idolakan yaitu Mahatma Gandhi. Salah satu orang suci yang hidup pada abad ini. Keseluruhan hidupnya dibaktikan untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan Inggris. Ajarannya penuh dengan kasih sayang. Gandhi mendasarkan ajarannya pada ajaran Yesus yang dipadukan dengan ajaran Hindhu. Ajaran Yesus yang sangat digemari bahkan menjadi dasar ajarannya ialah kotbah di bukit. Gandhi menganggumi Yesus dan seluruh ajaranNya, tapi Gandhi tidak mau menjadi Kristen sebab melihat orang Kristen, yang diwakili wajah bangsa Inggris dan Eropa lainnya, adalah orang yang kejam dan menindas. Orang yang melihat bahwa bangsa berkulit coklat adalah warga masyarakat kelas dua.


Dalam hidup beragama memang sering terjadi konflik antara beragama, yaitu memeluk agama atau masuk dalam agama tertentu dengan beriman yaitu menjalankan apa yang menjadi ajaran agamanya dengan penuh konsekwensi. Banyak orang memeluk agama terntentu tapi sikap hidupnya tidak mencerminkan ajaran agama yang dipeluknya. Atau dia hanya memilih ajaran yang mudah dijalankan, sedang yang sulit dilakukan ditinggalkan meski yang sulit itu adalah dasar-dasar agamanya. Ada beberapa alasan yang membuat orang beragama macam ini. Dia memeluk agama demi kewajiban di suatu masyarakat bahwa semua orang harus beragama. Banyak orang Indonesia yang takut disebut komunis (padahal orang komunis belum tentu atheis) maka dia memeluk salah satu agama yang telah ditentukan pemerintah. Ini juga suatu yang aneh, dimana pemerintah ikut menentukan agama. Ada orang memeluk agama karena tradisi, dimana orang tuanya sudah beragama itu, maka anaknya harus beragama itu. Agama bukan lagi suatu panggilan bebas manusia melainkan ditentukan oleh orang tua. Ada juga orang beragama karena semua masyarakat sudah beragama seperti itu. Agama sudah menjadi suatu budaya dalam suatu masyarakat. Ada juga orang yang beragama karena ikut-ikutan teman atau saudaranya.


Akibat hidup beragama macam inilah maka munculah konflik antara beragama dan beriman. Beragama sebetulnya bukan hanya sekedar percaya akan adanya Tuhan, melainkan keberanian untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Tuhannya dengan sungguh-sungguh. Yakobus dalam suratnya dengan tegas membedakan orang beragama dengan beriman. “Kamu percaya bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yak 2:18). Disini Yakobus berbicara dalam konteks iman dan perbuatan. Iman harus terwujud dalam perbuatan. Suatu hari murid-murid Yohanes datang pada Yesus dan bertanya apakah Dia adalah yang ditunggu atau mereka harus menunggu yang lain lagi? Yesus tidak menjawab ya dan tidak, melainkan Dia bersabda “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan lihat.” (Mat 11:4). Lalu Yesus menunjukan apa saja yang sudah dibuatNya.


Beriman tidak cukup hanya dengan mengakui Tuhan sebagai Bapa atau dibaptis atau bahkan misa seminggu sekali. Beriman lebih luas dari itu. Tercermin dalam sikap hidup sehari-hari. Ukuran iman seseorang tampak dalam bagaimana seseorang itu menjalani hidupnya. Dalam tingkah laku dan keputusan-keputusan dalam hidupnya. Akan arah jalan yang dipilihnya. “Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku.” (Yoh 5:36). Orang bisa melihat bahwa Yesus adalah utusan Bapa dari pekerjaan yang telah dilakukanNya. Sikap hidup Yesus adalah kesaksian nyata bahwa Dia utusan Bapa. Tapi rupanya orang Yahudi terlalu sibuk menyelidiki Kitab Suci sehingga tidak percaya, maka dikecam tidak akan memperoleh hidup yang kekal.


Beriman tidak lepas dari tingkah laku dan sikap hidup seseorang. Bagaimana cara hidup seseorang merupakan kesaksian akan iman. Kesaksian akan siapakah yang mengutusnya. Kesaksian sejauh mana dia hidup dalam iman. Namun hal ini sering kuran diperhatikan. Seandainya Gandhi melihat dan berteman dengan Ibu Teresa, mungkin dia akan berpikir lain lagi mengenai kekristenan. Sayang dua tokoh besar yang hidup dalam satu negara itu hidup dalam waktu yang berbeda meski hanya selisih beberapa tahun saja.


Meski sudah banyak pelajaran mengenai keterkaitan antara iman dan perbuatan, namun sayang masih banyak orang yang sudah merasa memiliki surga hanya dengan membaca Kitab Suci, bahkan hafal diluar kepala isi Kitab Suci. Dia bisa dengan mudah mengutip ayat-ayat suci, namun lupa untuk mengaktualisasikannya. Dia tetap hidup seperti sebelum beriman bukan memberi kesaksian tentang imannya. Hidup berdasarkan ajaran Kitab Suci. Kalau toh dia mengambil ayat sebagai pegangan hidup, maka dipilih ayat-ayat yang membuatnya senang atau menguntungkan. Tetap ayat yang dianggap berat dilupakan. Orang lebih suka ayat Mat 7:7-11 daripada Mat 19:21. orang lebih suka ayat Mat 19:29 daripada Yoh 13:34-35. Masih banyak lagi daftar ayat favorit namun juga ayat yang perlu dihapus dari Kitab Suci sebab terlalu berat.


Seandainya Gereja konsisten dan konsekwen melaksanakan ajaran Yesus dapat dipastikan bahwa Gereja akan berkembang. Banyak orang akan percaya bahwa Yesuslah penyelamat dengan melihat sikap hidup para anggota Gereja, orang yang secara eksplisit menyatakan diri bergabung dengan komunitas yang dibangun Yesus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar