PADRE PIO: CERITA-CERITA SEPUTAR IMAM KAPUSIN YANG KUDUS INI [1]
by Emmanuel Ofs Smart on Sunday, 2 October 2011 at 18:07
PESTA: 23 September
Ma che merito! Pada suatu hari seorang laki-laki datang menemui Padre Pio agar ibunya dapat disembuhkan. Ia menunjukkan sebuah foto ibunya kepada sang imam dan berkata: “Apabila saya pantas untuk itu, berkatilah dia.” Padre Pio menjawab: “Hei, apa maksudnya ‘pantas’? (Ma che merito). Dalam dunia ini tidak seorangpun pantas untuk memperoleh apa saja. Tuhanlah yang berbaik hati kepada kita dan kebaikan-Nya yang tak terbatas itulah yang memberikan kepada kita apa saja yang baik, karena Dia mengampuni semua orang.” Padre Pio tidak menyukai pepatah: “Setiap orang bagi dirinya: Allah untuk semua orang.” Pesan itu terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu duniawi baginya. Terhadap pandangan ini Padre Pio menyatakan pemikirannya: “Allah untuk semua orang; namun tidak seorang pun untuk dirinya sendiri.” (Rev. Charles Mortimer Carty, PADRE PIO THE STIGMATIST, page 233)
Padre Pio, dokter pribadinya dan sebuah ranjang baru. Sampai wafatnya pada tahun 1954, Dr. William Sanguinetti adalah dokter pribadi Padre Pio. Pada suatu hari sang dokter melihat betapa kasarnya ranjang yang ditiduri oleh Padre Pio. Sang dokter kemudian berkata, “Saya akan membeli sebuah ranjang baru untuk anda, Pater.” Padre Pio kemudian bertanya kepada dokter Sanguinetti, “Apakah anda seorang kaya?” “Tidak, saya bukan seorang kaya,” jawab sang dokter, “akan tetapi paling sedikit saya dapat membeli sebuah ranjang baru bagi anda. Mengapa anda bertanya, apakah saya seorang kaya?” Barangkali dengan tersenyum Padre Pio menjawab: “Ah, tentunya Pak Dokter mengetahui bahwa para Kapusin semuanya menjalani kehidupan kebersamaan yang penuh kesamaan, dan apabila anda dapat membelikan sebuah ranjang yang lebih nyaman bagiku, maka anda harus juga melakukan hal yang sama untuk seluruh anggota Ordo Kapusin yang berjumlah 14.000 orang itu.”
Namun keputusan untuk membeli satu atau 14.000 buah ranjang tidak tergantung pada Padre Pio, melainkan pada Dr. Sanguinetti dan atasan Padre Pio. Hanya Padre Pio sendirilah yang mendapat hadiah sebuah ranjang baru, dan dia menggunakan ranjang itu karena atasannya memerintahkan kepadanya.
Ruangan Padre Pio yang berukuran luas 8 x 10-kaki (1 kaki=30,4 cm), digunakan sebagai ruang tidur dan juga ruang membaca/studi. Di atas meja kerjanya ada sebuah lampu kecil, dan dalam ruangan itu ada juga sebuah gambar Bunda Maria, sebuah potret para orangtuanya, dan sebuah potret Sri Paus. Dari tempat duduknya yang sedikit dilapisi kain, Padre Pio dapat memandang potret Sri Paus itu. Dia meminta agar cahaya lampu itu menyinari potret Sri Paus. Setiap harinya, Padre Pio memulai kegiatannya dengan berdoa bagi Sri Paus. (Rev. John a. Schug, Capuchin, PADRE PIO, page 121)
Stigmata yang terlihat. Padre Pio menerima stigmata yang kelihatan pada tangan-tangannya, kaki-kakinya dan sisi sebelah kirinya, selagi dia berlutut di kapel biara pada tanggal 20 September 1918. Melihat Padre Pio sedang tak berdaya di atas lantai dengan luka-luka stigmata yang kelihatan, para saudara kemudian membawanya ke dalam selnya. Kenyataan bahwa Padre Pio telah menerima stigmata yang terlihat itu dengan cepat tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat.
Setelah mengetahui mengenai stigmata Padre Pio, maka Minister Provinsial Kapusin memerintahkan agar luka-luka stigmata tersebut difoto dan foto-foto itu pun dikirim ke Vatikan untuk catatan (arsip) dan instruksi-instruksi selanjutnya, karena sang Minister Provinsial memang tidak tahu sikap apa yang harus diambilnya perihal stigmata Padre Pio ini. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut sebagai dasar dari keputusannya, Minister Provinsial meminta kepada sejumlah dokter untuk memeriksa luka-luka stigmata Padre Pio. Dr. Luigi Romanelli dari Barletta memeriksa Padre Pio. Untuk beberapa tahun selanjutnya, kemudian disusul dengan investigasi medis yang sangat tekun dan serius, juga berbagai upaya untuk “menyembuhkan” luka-luka itu. Akan tetapi tidak ada sesuatu pun yang berubah dari ciri luka-luka tersebut. Luka-luka tersebut tidak pernah tertutup rapat, tidak pernah berhenti mengeluarkan darah, juga tidak pernah menjadi terinfeksi, apakah kalau dibaluri dengan salep dan dibalut erat-erat, atau ditutupi dengan sarung tangan wol berwarna hitam yang dikenakannya bertahun-tahun lamanya. Pada akhirnya otoritas Gereja menyatakan bahwa Padre Pio harus dibiarkan hidup dalam damai-sejahtera dan tidak ada lagi upaya “penyembuhan” yang perlu dicoba dan tidak ada lagi pemeriksaan yang perlu dilakukan. Padre Pio tidak mampu menutup tangan-tangannya dan sangatlah sukar baginya untuk menyimpul tali ketika mengenakan pakaian Misa. Berjalan pun sangat menyakitkan bagi dirinya. Untuk menjaga kaki-kakinya yang terluka itu, Padre Pio harus berjalan mundur ketika turun dari altar untuk membagikan komuni kudus. Namun demikian, Padre Pio tidak pernah mengeluh! Ketika seseorang yang agak “tolol” bertanya kepadanya apakah luka-lukanya itu menyakitkan, Padre Pio menjawab: “Apakah anda pikir Tuhan memberikan luka-luka ini kepada saya sebagai dekorasi?” (Peter Dwan, PADRE PIO – HIS MESSAGE FOR TODAY, pages 6-7)
Doa-doa yang paling diterima oleh Allah. Seorang ibu bertanya kepada Padre Pio, doa-doa yang bagaimanakah yang kiranya paling diterima oleh Allah. Padre Pio menjawab: “Semua doa baik, apabila doa-doa itu diiringi oleh niat yang benar dan kemauan yang baik.” (Rev. Charles Mortimer Carty, PADRE PIO THE STIGMATIST, page 237)
Cilandak, 22 September [Peringatan S. Ignatius dari Santhi, Imam Kapusin]
Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
http://catatanseorangofs.wordpress.com/2011/09/22/padre-pio-cerita-cerita-seputar-imam-kapusin-yang-kudus-ini-1/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar