Kamera 1

Sabtu, 07 Januari 2012

SEJARAH ORDO FRANSISKAN SEKULAR (2)

SEDIKIT CATATAN TENTANG GERAKAN PARA PENTOBAT



Seorang ahli sejarah Fransiskan, Pater Raffaelle Pazelli TOR, banyak menulis tentang Sejarah Ordo Ketiga. Satu bukunya yang ditulis dalam bahasa Italia dan diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Inggris adalah “ST. FRANCIS AND THE THE THIRD ORDER”.  
Menurut Pazelli, dan juga kebanyakan ahli yang lain, tarekat/ordo para pentobat itu muncul dengan sendirinya di dalam Gereja. Gereja dalam sejarahnya mempunyai beberapa peraturan dan ketentuan yang cukup ketat dan keras untuk mereka yang berdosa berat setelah dibaptis. Apabila seseorang yang pernah dibaptis dan jatuh ke dalam dosa berat, entah macam apa dosa berat itu, maka dia harus menjalani masa percobaan baru. Setelah sekian banyak tuntutan itu dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka dia pun mulai diterima lagi ke dalam pangkuan Bunda Gereja sebagai seorang anggota penuh. Praksis ini sebenarnya mempunyai dasar dalam ajakan Injil, yang dikembangkan oleh Gereja, sejak abad-abad pertama. Dalam studinya tentang tarekat para pentobat ini, misalnya Joseph A. Favazza, dalam bukunya THE ORDER OF PENITENTS – HISTORICAL ROOTS AND PASTORAL FUTURE,  memberi sejumlah kesaksian dari sejumlah Bapak Gereja (setelah zaman para rasul). Kesaksian-kesaksian tersebut menjadi bukti bahwa memang tarekat para pentobat ini dapat dikatakan setua Gereja sendiri: Clement dari Roma (c. 95-98); Ignatius dari Antiokhia (c. 110), Didakhe (c. 130-140), Polikarpus dari Smyrna (c. 135) dan seterusnya (lihat JAF, hal. 81 – 120).
Menurut Pazzelli, khususnya setelah Tertulian (+ setelah 220) dan Santo Siprianus (200-258), Uskup dan martir, suatu doktrin atau ajaran tentang pertobatan mulai tersusun. Isi ajaran itu adalah, bahwa seorang Kristiani dapat memperoleh pengampunan atas dosanya yang berat, apabila dia sungguh-sungguh beralih/berbelok dari cara hidup yang salah, kemudian bertekun lagi di dalam pola hidup yang tepat. Artinya kembali berkiblat pada Injil.[1] Pembalikan arah itu disebut metanoia (Yunani),  poenitentia (Latin), artinya berubah dalam jiwa (secara mental) sampai akarnya (=poenitus). Arti alkitabiah inilah yang mendasari ajaran yang disebutkan tadi. Pertobatan adalah suatu proses yang semakin menjauhkan seorang Kristiani dari pola berpikir, pola menilai dunia dan sejarahnya (yang lama), lalu mendekatkan diri ke dalam cara berpikir dan cara menilai dari Tuhan Allah yang berbicara dan mewahyukan diri-Nya terus-menerus di dalam sejarah setiap bangsa dan manusia. Proses pertobatan dapat diberi wadah yang jelas, lalu menjadi gerakan atau tarekat (ordo) tertentu. Istilah conversio (Latin; Inggris: conversion) juga memberi pengertian yang sama. Kata Indonesia tobat/taubat diambil dari kata dalam bahasa Arab. Pertobatan sebagai tarekat dan gerakan mengandung arti, bahwa pertobatan bukanlah sekadar soal batiniah, bukan hanya soal hati, melainkan diungkapkan di dalam pola perilaku secara lahiriah, entah dengan tiga cara yang amat umum, yaitu doa, puasa dan derma.
Dengan berjalannya waktu, lama-kelamaan muncul juga kelompok pentobat yang sukarela[2], jadi bukan karena ada pelanggaran dosa besar. Mereka mau menjalankan peraturan yang sudah dipakai oleh Gereja secara resmi terhadap orang yang sungguh jatuh dalam dosa berat yang harus dipulihkan dengan setia oleh mereka, seturut ketentuan Gereja. Orang yang sukarela, atau ‘pentobat-pentobat’ dibentuk juga sebagai tarekat atau kelompok yang berdiri di dalam Gereja, dan Gereja mengakui mereka sebagai demikian. Itulah gerakan poenitentes, atau pentobat yang ada sebelum Fransiskus dan sesudah Fransiskus.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa pada waktu Fransiskus naik ke panggung sejarah, sebenarnya sudah ada lahan yang subur,  walaupun sedang dalam keadaan merosot juga. Lalu banyak dari antara para pentobat itu kemudian mengikuti spiritualitas Fransiskus. Spiritualitas ini disebar-luaskan oleh para Saudara Dina ke mana saja mereka pergi. Nama awal bagi mereka ialah fratres et sorores Poenitentiae. Hanya pada akhir abad XIII, mereka lebih dikenal dengan nama Tertius Ordo beati Francisci.  
Di dalam gerakan dan kelompok itu terdapat berbagai macam pengeja-wantahan penghayatan hidup sebagai para pentobat Santo Fransiskus. Dalam sejarah yang panjang itu, muncul kelompok yang terkenal sebagai beghini. Di Amsterdam kita dapat masuk ke sebuah gereja yang terletak di tengah kota yang ramai. Namanya gereja Beghijnenhof. Ini merupakan tanda jelas dari sejarah para pentobat itu (lihat VK, hal. 2).
MAKNA PERTOBATAN DARI SALIB TAU
Catatan berikut berkaitan dengan salib TAU ini praktis mengambil oper tulisan dalam buku Pazzelli (hal. 36-37). Komunitas-komunitas para pentobat tertentu memakai salib TAU sebagai lambang yang bersifat distinktif, artinya untuk membedakan diri mereka dengan orang-orang lain. Menurut Pazzelli, para sejarawan dan orang-orang yang mendalami fenomena antropologis telah berhasil memberi sedikit penerangan tentang berbagai arti dari salib TAU selama beberapa abad penyebarannya yang paling besar. Pazzelli juga mengatakan, bahwa kita tidak dapat mengabaikan arti makna pertobatan dari lambang ini pada kurun waktu menjelang munculnya Fransiskus ke dalam kancah sejarah gerakan pertobatan. Ada uraian jelas yang termuat dalam sebuah risalat spiritual yang berjudul Liber de poenitentia, karangan seorang rahib Benediktin (tanpa nama) pada abad ke-12 (RP, hal. 36). Tulisan itu bernada Cistercian (Trapis, Benediktin juga), dan diperkirakan ditulis pada tahun 1189, dan dialamatkan kepada para rahib Cistercian yang memilih untuk menjadi bagian aktif dalam Perang Salib, entah sebagai diplomat, organisator, pendamping rohani para perajurit, pengkhotbah, dan bahkan sebagai serdadu tempur.
Dalam menyebutkan berbagai cara dalam menyesali dosa, penulis risalat itu mengatakan:“Ujilah pikiran-pikiranmu, kata-katamu dan kerjamu dengan teliti dan lihatlah apakah anda sudah berdosa dalam hal-hal ini. Apabila anda percaya bahwa anda telah berdosa besar,  buatlah tanda (salib) TAU, tanda bagi mereka yang menangisi dan meratapi kesalahan-kesalahan mereka. TAU mengambil bentuk sebuah Salib, sebuah tanda sengsara Kristus. Oleh karena itu tirulah sengsara Kristus dan penuhilah dalam dagingmu apa saja yang kurang dalam sengsara Kristus. Kalau anda melakukan hal ini, maka sang hakim akan melewati anda tanpa memukulmu; artinya, Dia akan mengampuni anda.”
Dalam teks berbahasa Latin, kata poenitentia dipahami, baik dalam arti alkitabiah metànoia atau conversio (menolak dosa dan kembali kepada Allah), maupun dalam arti rahmat pertobatan. Dengan demikian pertobatan berasal dari manusia, namun pada saat yang sama  adalah suatu karunia dari Allah. Penulis mengatakan lagi: “Apabila terjadi tindakan kembali kepada Allah (poenitentia), maka ada juga pengampunan. Rahmat pertobatan (poenitentia) datang kepada si pendosa dari Allah, dari Dia juga datang pengampunan. Jadi setiap kali Allah menganugerahkan karunia pertobatan, dia juga memberikan pengampunan.”
Teks ini menunjukkan kepada kita aspek bagian-dalam (interior aspect), spiritualitas TAU. Salib atau tanda TAU itu sendiri tidak mempunyai kuasa untuk menyingkirkan atau menghindar dari hukuman Allah, hanya karena kenyataan bahwa TAU itu dipakai dalam jubah sang pentobat. TAU hanyalah sebuah tanda-luar atau tanda-kelihatan dari metànoia, yaitu pertobatan batiniah. “Apabila anda akan mengakui dosa-dosamu dan memerdekakan dirimu dari dosa-dosa itu, dan anda akan memakai TAU, artinya apabila anda memiliki rasa penuh penyesalan dari pertobvatan sesungguhnya, maka malaikat Tuhan tidak akan memukul anda, artinya hukuman/penyucian Tuhan tidak akan datang kepadamu.”  
Jadi, salib/tanda TAU sendiri tidak dipandang sebagai sesuatu yang menyelamatkan, karena untuk keselamatan itu harus disertai iman itu dan karya-kasih yang dilakukan demi cintakasih akan Allah, “sehingga Allah, melalui tanda (TAU) dan iman dan kerja-kerja kita dan ketaatan kita … dapat menjaga kita … dan membela kita, baik dalam jiwa maupun badan.” 
PARA PENTOBAT ATAU ‘CONVERSI’
Conversi adalah nama yang biasa digunakan bagi para pentobat sepanjang sejarah mereka. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah memutuskan untuk melakukan conversio istilah alkitabiahnya metànoia – yang telah menunjukkan – seringkali secara publik – hasrat mereka untuk melakukan pemutusan hubungan secara kurang lebih radikal, dengan bentuk kehidupan sekular mereka sebelumnya, dan yang pada faktanya telah bergabung dengan salah satu dari berbagai bentuk hidup pertobatan yang sedang berkembang di dalam Gereja (RP, hal. 38).
Dari dokumen-dokumen abad pertengahan, para ahli kelihatannya tidak mampu untuk merekonstruksi suatu panduan yang dapat membedakan dengan jelas para pentobat sukarela dan para conversi yang non-monastik. Sebaliknya, kelihatan bahwa dua istilah itu sinonim dan digunakan untuk keduanya. Dengan demikian kita dapat menemukan para conversi yang telah memilih satu dari banyak bentuk hidup pertobatan.
Ada juga kekecualian dari pernyataan di atas, yaitu ada juga conversi yang bukan pentobat. Ini disebabkan oleh beberapa ketentuan (kanon) yang dibuat konsili-konsili tertentu sejak abad ke-5 dan seterusnya, yang menuntut para kandidat atau aspiran imamat (para calon imam) untuk menjalani suatu masa persiapan dalam ‘pertobatan’; disebut juga religio. Jelas mereka berbeda dengan para pentobat sukarela, para ‘conversi’ calon imam ini tidak terus-menerus seperti itu sepanjang hidup mereka, tetapi hanyalah untuk masa persiapan menjadi imam tersebut. Regulasi ini juga merupakan bukti betapa hierarkhi Gereja sangat menjunjung tinggi status umat sebagai conversi.
Baik untuk kita ketahui, bahwa kelompok-kelompok utama atau jenis-jenis conversi atau pentobat yang terdapat dalam Gereja pada zaman itu, adalah:
    1. Para conversi yang menikah. Mereka adalah para pribadi yang tetap hidup dalam keluarga masing-masing. Hidup pertobatan mereka mencakup menahan diri dari hubungan suami-istri, paling sedikit secara periodik.
    2. Para peziarah sukarela. Mereka adalah pribadi-pribadi yang melakukan perjalanan ziarah ke Tanah Suci atau makam-makam para Rasul. Ziarah menjadi suatu pekerjaan yang menyebar-luas, menyangkut askese, pertobatan atau devosional.
    3. Para eremit/pertapa (Inggris: hermits). Mereka adalah pribadi-pribadi yang hidup sendiri atau dengan satu-dua rekan di dalam grotto atau gua-gua pertapaan. Bentuk hidup pertobatan seperti ini menjadi tersebar-luas pada abad ke-10 dan ke-11, selama dan setelah berlangsungnya reformasi kehidupan biara monastik.
    4. Para donati atau oblatus. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memberikan diri mereka sendiri untuk pelayanan bagi Allah (Domino servire) dengan menempatkan diri mereka untuk ‘dipakai’ oleh sebuah gereja, biara monastik, atau keuskupan, pada umumnya mencirikan stabilitas.
    5. Para perawan (tidak dikuduskan secara liturgis). Mereka tetap hidup dalam keluarga mereka masing-masing. Seringkali mereka disebut sebagai ‘para perawan religius’, ‘hamba Allah’ atau para ‘pengabdi (Allah)’.
    6. Para reclusae. Mereka adalah perempuan-perempuan yang menguduskan diri bagi Allah tanpa menggabungkan diri dengan lembaga-lembaga tradisional dalam Gereja. Julukan bagi mereka bervariasi menurut waktu dan tempat, antara lain para saudari pentobat yang dikurung, pinzochere, dan kemudian dikenal juga sebagai para Beghini (Inggris: Beghines), seperti  telah disinggung di atas (RP, hal. 38-39). Para reclusae ini hidup terkurung dalam kamar atau menara, sering terletak dekat dengan sebuah gereja atau biara (VK, hal. 2).
KARAKTER ATAU CIRI-CIRI PARA CONVERSI
Pokok-pokok tentang ciri-ciri para pentobat yang dikemukakan berikut ini diambil dari Pazzelli (RP, hal. 39-40):
    1. Semua sumber mengindikasikan bahwa para pentobat ini berpakaian secara khas, mengenakan pakaian/jubah pentobat atau pertapa, sebuah tongkat untuk berjalan, ikat pinggang, tas  dan sandal; sekali waktu tanda salib TAU dijahit pada mantel atau topi runcing.
    2. Para pentobat mengabdikan diri mereka dalam karya-karya karitatif, kebanyakan dalam rumah-sakit rumah-sakit, panti-panti penampungan bagi para peziarah, dan di tempat penampungan para penderita kusta. Kelompok-kelompok pentobat tertentu diidentifikasikan dengan badan-badan seperti sebuah rumah-sakit atau sebuah asosiasi (mata rantai) panti-panti. Kegiatan-kegiatan seorang pentobat, antara lain, mencakup pekerjaan memperbaiki gereja-gereja, membantu konstruksi katedral-katedral tanpa memperoleh bayaran, mengubur orang mati, teristimewa dalam masa berjangkitnya epidemi dan wabah yang memang sering terjadi pada abad pertengahan.
    3. Para pentobat mengabdikan diri mereka pada suatu hidup doa. Propositum  yang tertua berisikan peraturan-peraturan mendetil sehubungan dengan doa ini, yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari abad ke abad. Peraturan-peraturan tersebut pada umumnya berisikan tuntutan yang lebih atas diri para pentobat ketimbang tuntutan atas umat beriman yang biasa. Contoh-contohnya adalah berbagai norma dalam rangka penerimaan komuni kudus dan sakramen tobat.
    4. Dengan penyebaran pertobatan pribadi muncul juga berbagai macam disposisi sehubungan dengan hidup bertarak – juga bervariasi dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Pada umumnya, norma-normanya berkisar dari hidup bertarak secara mutlak bagi pentobat bujangan atau para janda, sampai kepada suatu hidup bertarak secara periodik bagi mereka yang menikah.
    5. Para pentobat biasanya diminta untuk tidak mengikuti pesta-pesta, pertunjukan-pertunjukan, pesta dansa-dansi yang bersifat popular (kerakyatan), dan pesta-pesta perjamuan yang hiruk pikuk, karena adanya bahaya yang jelas dalam hal penggunaan bahasa yang tidak sopan, mabuk-mabukan dan segala konsekuensinya.
    6. Para pentobat biasanya dituntut untuk tidak memegang jabatan-jabatan publik, teristimewa dalam fungsi yuridis, misalnya hakim dan pengacara/penasihat hukum.
    7. Para pentobat tidak diperkenankan menjadi anggota angkatan bersenjata, membawa senjata dan ikut serta dalam pertempuran/perang. Dari larangan yang kurang lebih tetap ini, mereka menolak untuk bersumpah, mula-mula kepada para penguasa feodal, kemudian kepada pemerintahan sipil. Situasi seperti inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik awal yang serius antara para pentobat dan para penguasa sipil pada awal abad ke-12.
    8. Di daerah-daerah tertentu juga ada suatu pengaturan yang melarang para pentobat untuk mengendarai kuda karena kuda dinilai sebagai prerogatif orang-orang kaya dan kaum bangsawan. 

        Pentinglah untuk dicatat, bahwa berbagai disposisi dasar berkaitan dengan praktek kehidupan para pentobat – yang sukarela maupun yang diharuskan – sudah ditentukan sejak pertengahan abad ke-5 dan praktis tidak mengalami perubahan sampai abad ke-13. Ini semua dikodifikasikan dengan baik dalam
Memoriale Propositi 
      tahun 1221 -1228. 
Tentu saja dalam zaman modern ini sudah ada pemahaman yang berbeda tentang bagaimana iman yang otentik diekspresikan dalam situasi sosial yang dihadapi. Akan tetapi kita tetap dapat menarik ‘pelajaran’ dari para pentobat sekular zaman dahulu itu, dan kemudian memutuskan bagaimana kita sebaiknya mengambil oper semangat ini ke dalam zaman kita, apabila kita mengakui diri kita sebagai para penerus yang otentik dari para pentobat sekular Fransiskan zaman dahulu itu. Kita tidak dapat mengambil sikap bahwa semua itu taken for granted bagi kita semua. Kita lihat bahwa Santo Fransiskus sendiri adalah salah seorang dari para pentobat ini.
FRANSISKUS DAN GERAKAN PARA PENTOBAT
Pada zaman Fransiskus gerakan para pentobat masih kuat, antara lain para eremit/pertapa, reclusae (yang hidup terkurung dalam kamar atau menara, sering terletak dekat dengan sebuah gereja atau biara), dan para saudari-saudara pentobat.
Dalam konteks sejarah Gereja dan dunia pada zaman Fransiskus, tidak semua gerakan pertobatan itu secara sempurna sesuai, sejalan, sepemikiran dengan Gereja hierarkhis. Korupsi para klerus pada masa itu, dekatnya para anggota hierarkhi dengan hal-hal duniawi, dan perilaku yang melecehkan dari para klerus memicu reaksi-reaksi yang seringkali pecah menjadi pemisahan diri dari Gereja hierarkhis, bahkan menjelma menjadi bid’ah (lihat BL, hal.7). Pada waktu Fransiskus muncul, Gereja sedang menghadapi ancaman bahaya dari kaum bid’ah yang disebut aliran Kathari[3] dan Waldensi.[4] Khotbah mereka cukup gencar dan membuat orang agar merasa curiga terhadap Gereja dan para pimpinannya. Muncul pada saat itu rasa haus dan lapar akan pemimpin yang tepat dan pembimbing rohani yang cakap dan mampu. Dibutuhkan semacam ‘evangelisasi baru’ pada saat itu. Masalah yang besar adalah sebagai berikut: Bagaimana tetap setia kepada Injil Yesus Kristus dan Allah, dan tetap setia di dalam Gereja Katolik yang ada pada saat itu? Masalah itu tidak baru, tetapi menjadi akut dan gawat pada saat itu.
Momentum itu digunakan/dimanfaatkan oleh Fransiskus. Berbeda sekali dengan para bid’ah, Fransiskus dan gerakan pertobatannya mengambil arah yang lain. Sebagai seorang pentobat Fransiskus mencari Allah dengan segenap hatinya, dan di atas segalanya dia menetapkan suatu pertobatan pribadi sebagai sasaran yang secara tekun diusahakan untuk dicapai olehnya. Fransiskus memandang Gereja sebagai Tubuh Kristus, dan dia melihat Gereja sebagai seorang puteranya yang taat, bukan untuk dikritik habis-habisan, apalagi untuk ditinggalkan, betapa buruk pun kondisi Gereja itu. Fransiskus mohon peneguhan dari Sri Paus untuk perjalanannya di dalam Gereja. Dia memperbaiki Gereja, tidak dengan keluar dari Gereja itu, tidak melalui kritik-kritik pedasnya terhadap praktek buruk dalam Gereja, melainkan melalui kesucian hidup pertobatannya.
Dengan munculnya fenomena Fransiskus, maka semua orang yang disebutkan tadi tertarik dan ingin mengikuti spiritualitas Fransiskus. Saudara-saudara Dina sebagai kelompok pengkhotbah keliling dalam kesederhanaan dan kemiskinan yang dirindukan oleh semua orang pada zaman itu, memenuhi harapan dan kerinduan masa itu. Dengan sendirinya muncul ‘kebangunan rohani’ yang raksasa, yang berskala cukup besar. Para ahli sejarah sampai mencetak istilah: ‘gerakan poenitential yang dibangkitkan oleh Santo Fransiskus itu merupakan suatu keberhasilan: sukses besar!’ Di bawah ini adalah penjelasannya.
Pertama-tama, kita mengetahui dari tulisan Thomas dari Celano, bahwa Fransiskus sendiri pada awal seluruh ‘petualangan rohaninya’ adalah seorang poenitens – pentobat. Itu terjadi setelah pencerahan (illuminatio) Fransiskus di depan Salib San Damiano. Kita dapat membaca 1Cel 9. Di situ ditulis: “dengan semakin mendesak, Fransiskus mohon dan minta dengan sangat kepada imam itu, agar ia diperbolehkan tinggal bersama dengannya. Akhirnya imam itu memperkenankan dia tinggal di situ ……”  Dia diterima sebagai oblatus atau convensus, sosok resmi seorang poenitens. Pentobat! Dan itulah sebabnya dia diluputkan dari pengadilan sipil. Ketika muncul perkara dengan ayahnya, dia dipanggil oleh pengadilan sipil, tetapi Fransiskus menolak, karena memang pada zaman itu seorang poenitens-pentobat tidak jatuh lagi di bawah kuasa pengadilan sipil. Itu berarti bahwa dia termasuk kelompok ‘religius’ dalam artian tertentu. Itu pun dapat dibaca dalam ‘Kisah Tiga Sahabat’ [K3S]: Fransiskus menjawab dengan berkata kepada bentara itu, bahwa oleh kasih-karunia Allah ia sudah bebas dan tidak lagi di bawah kekuasaan pemerintah kota oleh karena sudah menjadi bawahan Allah Yang Mahatinggi semata-mata” [K3S 19]. K3S kemudian melanjutkan: Pemerintah kota tidak berani memaksa Fransiskus, lalu berkata kepada ayahnya, “Karena anak Tuan sudah masuk pelayanan Allah, ia lepas dari kekuasaan kami” [K3S 19].
Ada yang mengatakan bahwa Fransiskus hidup sampai dua tahun lamanya sebagai pentobat, dengan jubah dan sepatu yang cocok. Itu dapat disimpulkan dari kata-kata yang ditulis oleh K3S 25 dan 27. Jelaslah juga bahwa masa pertobatan itu amat berarti dan subur bagi kematangan pribadi Fransiskus. Dari kematangan itulah Fransiskus mulai melihat garis besar hidupnya untuk selanjutnya. Seringkali kita lupa menghargai setepatnya pengaruh masa pertobatan itu dalam roh-semangat Fransiskus dan dalam cara melihat segala hal. Fransiskus justru bertumbuh pada saat-saat semacam itu. Dengan demikian tidak mengherankanlah, bahwa pada permulaan ketika ditanyakan siapa mereka dan dari mana mereka berasal, selalu dijawab: “Kami ini para pentobat dari Assisi.” Dalam K3S ada tertulis:  “secara polos mereka menjelaskan bahwa mereka pentobat asal Assisi sebab paguyuban mereka belum disebut tarekat kebiaraan” [K3S 37].
Boleh dikatakan bahwa sejak saat itulah ada pertumbuhan cepat dari gerakan pentobat di banyak tempat. Menurut G.G. Meersseman, pada tahun 1215 dan sekitarnya muncullah di Italia dan di kota-kota besar, suatu gerakan besar dari viri poenitentiales. Dan orang-orang ini ialah orang-orang yang telah berkeluarga.[5] Sebelum tahun 1221 mereka itu, dengan menepati segala peraturan dari golongan pentobat, membentuk komunitas-komunitas di mana-mana, semacam ‘persaudaraan lokal’. Jadi semua itu sudah ada sebelum tahun 1221. Menurut Meersseman, pertumbuhan gerakan itu, disebabkan oleh pengaruh jelas dari Fransiskus dari Assisi. Fransiskus pada saat itu, menurut Meersseman, belum membentuk sebuat Tarekat Religius yang resmi . Dengan kata lain, ada kemiripan dengan gerakan Tarekat Pentobat. Menurut Pater Vicente Kunrath OFM, barangkali dapat disimpulkan untuk sementara, bahwa Ordo I ialah Ordo III (VK, hal. 3).
Oleh karena itu, di kalangan para ahli fransiskanologi, menjadi kuatlah pandangan, bahwa Fransiskus sebelum tahun 1221 itu mempengaruhi secara langsung seluruh gerakan pentobat. Itulah sebabnya, ada yang mengatakan bahwa ‘Surat Pertama kepada Kaum Beriman’ (1SurBerim) ditulis bukan untuk semua orang beriman secara umum, melainkan secara khusus bagi kelompok dan golongan pentobat. Justru 1SurBerim inilah yang diselidiki dengan amat teliti oleh Kajetan Esser OFM. Dari penyelidikan tersebut dapat disimpulkan bahwa 1SurBerim merupakan semacam anggaran dasar bagi Ordo Ketiga, yaitu Tarekat Pentobat. Dan 1SurBerim justru membuktikan betapa besar perhatian Fransiskus terhadap golongan pentobat itu. Oleh karena  itu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: [a] ada kaitan dengan kelompok pentobat. Yang ditujukan bukan pertama-tama saudara-saudari dina, melainkan saudara dan saudari dari gerakan pentobat, yang tinggal di dalam rumah mereka masing-masing. [b] 1Surberim ini memuat ajaran-ajaran yang disampaikan olehnya bersama dengan para saudara yang berkeliling, kepada saudara-saudari pentobat.
Dan yang paling mencolok dalam 1SurBerim adalah cara Fransiskus menyampaikan ajaran tersebut. Jarang sekali orang membuat pelajaran yang menarik mengenai  poenitentia. Orang-orang pada umumnya tidak tertarik dengan pokok pembicaraan semacam itu. Tetapi di dalam 1SurBerim kita menyanyikan dan menghayati pertobatan sebagai hubungan relational dengan Tuhan, sebagai anak, sebagai mempelai perempuan dan sebagai saudara, bahkan sebagai ibu. Nilai cinta kasih kepada Allah dan sesama, nilai pengingkaran diri, nilai menyambut Tubuh Tuhan itu dipadatkan dengan begitu enak, sehingga kita merasa berhadapan dengan inti seluruh Injil.
Dari situ kita boleh berkesimpulan bahwa Fransiskus pernah juga menyusun Anggaran Dasar bagi Tarekat Pentobat itu, sesuai dengan pernyataan Thomas dari Celano (1Cel 37), Julianus dari Speyers, dan Bonaventura (LegMaj IV:6). Masalahnya adalah, di mana Anggaran Dasar itu? Rupanya hilang, atau memang justru 1SurBerim itu sendiri. Siapa tahu? Kita akan membahasnya secara singkat di bawah ini).
PERKEMBANGAN SELANJUTNYA
Perkembangan seperti diuraikan di atas itu memang menggembirakan, namun bukan tanpa tanda-tanya yang besar. Mengapa? Karena masalah yang muncul juga bermacam-macam.
Masalah yang pertama adalah, bahwa gerakan ini tidak mempunyai pimpinan umum dan pimpinan pusat. Tidak mempunyai peraturan umum yang berlaku untuk semua anggota. Pluralitas cara hidup lebih terasa menonjol daripada keseragamaan sentralisasi. Ini tentu membawa dampak yang besar atas kehidupan internal dari persaudaraan dan dalam hubungan mereka terhadap pimpinan dunia/sekular di dalam masyarakat.
Justru dalam hubungan dengan pimpinan masyarakat dan negara, pada zaman itu, patut diingat bahwa pada abad ke-13 ada perubahan yang amat besar dalam rezim pemerintahan dan struktur bermasyarakat. Ini tentunya banyak berpengaruh atas hubungan antara kelompok religius/keagamaan itu dengan pimpinan penguasa/ pemerintahan sipil, negara. Terlebih lagi karena kelompok-kelompok religius/ keagamaan itu sering berjuang untuk mendapat privilese yang tidak sedikit dari pimpinan sipil tersebut. Misalnya dalam hal kewajiban untuk mengucapkan sumpah-setia kepada pimpinan dalam masyarakat, hal mana berarti bahwa mereka dibebaskan dari kewajiban mengangkat senjata bilamana diminta untuk membela pimpinannya atau negara. Satu lagi privilese adalah tidak mengisi tugas tertentu dalam masyarakat dan negara. Berbagai privilese itu diperjuangkan oleh perkumpulan-perkumpulan atau paguyuban-paguyuban keagamaan semacam itu. Tentu saja hal seperti ini menggelisahkan pemerintahan dan pimpinan sipil. Ternyata Takhta Suci masih mendukung privilese-privilese itu.
Seperti dikatakan di atas, masalah yang lain adalah bahaya yang disebabkan oleh berbagai gerakan bid’ah, khususnya aliran Kathari dan Waldensi, yang dengan khotbah-khotbah dan pengajaran-pengajaran mereka sungguh mengancam keberadaan Gereja, teristimewa di Perancis bagian Selatan. Untuk menjamin ortodoksi (orthodoxy = ajaran yang benar dari Gereja) diperlukanlah organisasi eksternal yang jelas dan kuat. Pater Vicente Kunrath OFM, mengemukakan suatu hal yang menarik. Menurut beliau, kalau kita membandingkan 1SurBerim dengan 2SurBerim, terasa ada perkembangan yang jelas ke arah itu, yakni membela ortodoksi.
PERATURAN HIDUP SANTO FRANSISKUS
Sebelum kita membicarakan Memoriale Propositi, baiklah kita catat bahwa banyak ahli mengatakan, bahwa mereka tidak mengetahui apakah Santo Fransiskus memberikan kepada Saudara-saudari Pentobat yang mengikutinya, sebuah ‘Peraturan Hidup’ (norma di vita) yang pasti, dengan norma-norma yang mendetil. Namun demikian, Thomas dari Celano, Julian dari Speyer, Santo Bonaventura, dan Bernardus dari Bessa secara eksplisit menyatakan bahwa Fransiskus justru telah menulis suatu ‘Peraturan Hidup’ bagi para pentobat yang mengikutinya (RP, hal. 106).
(1) Setelah menyebut triplice militia (‘bala tentara berlapis tiga’; Inggris:  the threefold army atau ‘tiga barisan orang pilihan’), Thomas dari Celano memberi pengukuhan: Mereka sekalian diberinya pedoman hidup, dan kepada setiap tingkatan ditunjukkannya dengan sungguh-sungguh jalan menuju keselamatan” (1Cel 37). Hal ini dilakukannya tidak lama setelah kembali dari Roma, di mana dia telah memperoleh persetujuan lisan atas cara hidupnya (1209/1210) dan izin untuk berkhotbah tentang pertobatan kepada semua orang. Dengan demikian, menurut Pazzelli, dibentuklah institut religius berlapis tiga pada waktu yang kurang lebih bersamaan: Saudara-saudara Dina, Suster-suster Klaris dan Para Pentobat (Ordo III). Sayang sekali para penulis awal dari riwayat hidup Fransiskus tidak memberikan suatu ide yang jelas perihal peraturan/pedoman hidup ini. Mungkin sekali Fransiskus memberikan apa-apa  yang secara keagamaan dibutuhkan, tidak banyak berbeda dengan apa yang ditulisnya dalam Protoregula untuk Ordo I atau Forma Vivendi  yang diberikannya kepada para Puteri Miskin dari San Damiano (suster-suster Klaris) [lihat RP, hal. 106].
(2) Julian dari Speyer dalam riwayat hidup Santo Fransiskus berjudul VITA S. FRANCISCI  yang ditulisnya antara tahun 1232-1235, mengatakan bahwa “Pada kenyataannya, dia (Fransiskus) menyajikan ajaran-ajaran tentang keselamatan yang cocok bagi orang-orang dari setiap kelas, umur, atau jenis kelamin; kepada semuanya dia memberikan peraturan hidup, yang bilamana diikuti, seperti sebuah panduan yang unggul, oleh laki-laki atau perempuan, akan membawa kemenangan Gereja melalui ‘pasukan tentara berlapis tiga’ orang-orang terpilih. Pada kenyataannya dia mengorganisir tiga ordo sebagaimana telah disebutkan sebelumnya … yang ketiga, tentu saja bukan merupakan sarana kesempurnaan yang bersifat setengah-setengah, dinamakan Ordo Para Pentobat, biasa bagi para klerus dan awam, para perawan, orang-orang bertarak dan orang-orang yang menikah” [RP, hal.107).
(3) Santo Bonaventura, dalam Legenda Major menulis sebagai berikut: “Amat banyak orang dikobar-kobarkan hatinya oleh kehangatan khotbahnya, lalu mewajibkan diri kepada peraturan-peraturan baru pertobatan seturut tata-hidup yang diberikan oleh hamba Allah (Fransiskus). Maka hamba Kristus memutuskan, untuk menamakan cara hidup itu ‘Ordo Saudara-saudara Pertobatan’ [bdk. 1Cel 37]. Tentu saja karena ternyata benar, bahwa jalan pertobatan itu umum bagi semua orang yang hendak mengarah kerajaan surga; maka dengan sendirinya Ordo tersebut terbuka bagi laki-laki dan perempuan, klerus dan awam, menikah atau bujangan.Betapa layaknya mereka itu di mata Allah ternyata jelas dari banyaknya mukjizat yang dilakukan oleh beberapa orang dari antara mereka itu” [LegMaj IV:6].
(4) Bernardus dari Bessa, mantan sekretaris Santo Bonaventura dalam bukunya yang berjudul Liber de laudibus beati Francisci, yang ditulis setelah tahun 1278, bercerita mengenai awal dari ketiga ordo. Dia mengacu kepada Ordo Ketiga sebagai Ordo para Saudara dan Saudari Pentobat, membuat kerangka secara terinci mengenai program spiritual  – “untuk hidup secara jujur di dalam rumahnya sendiri, berpartisipasi di dalam karya-karya kesalehan, menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia,” artinya menghindari hidup duniawi yang mewah. Bernardus dari Bessa juga menulis, bahwa dalam penyusunan peraturan hidup untuk ketiga ordo ini, Santo Fransiskus dibantu oleh Kardinal Hugolinus, teristimewa dengan pengetahuan bidang yuridis/hukum yang tidak dimiliki oleh orang kudus itu (Fransiskus). Sehubungan dengan pernyataan terakhir Bernardus dari Bessa ini, sejumlah sejarawan cenderung untuk berpikir, bahwa dari pernyataan tersebut orang tidak dapat mengambil kesimpulan dengan penuh kepastian bahwa kolaborasi yuridis dan penyuntingan sang Kardinal juga berlaku untuk peraturan hidup para pentobat. Namun, menurut Pazzelli, Bernardus dari Bessa ini membuat pernyataan umum relatif terhadap ‘peraturan-peraturan hidup ordo-ordo ini’ . Dengan demikian orang tidak dapat membatasi ruang lingkup afirmasi yang diberikan olehnya, yang mengklaim bahwa hal ini benar untuk satu peraturan hidup, tetapi tidak pasti untuk peratursn hidup yang lain [RP, hal. 107-108].
Pendapat umum yang berlaku sekarang adalah, bahwa ‘Peraturan Hidup’ yang diberikan oleh Santo Fransiskus adalah ‘Surat Pertama kepada Kaum Beriman’ (Bentuk yang lebih tua)
Memoriale Propositi. Dengan demikian, diperlukanlah sebuah peraturan yang umum untuk seluruh gerakan pertobatan tadi. Kardinal Hugolinus (Ugolino) diberikan tugas dan tanggung jawab untuk hal tersebut. Dia sudah berkali-kali ditunjuk oleh Sri Paus untuk menjadi legatus  (= utusan kepausan) untuk Italia Tengah dan Utara. Pada tahun 1217 dia sudah ditunjuk oleh Sri Paus untuk menjadi penasihat Fransiskan. Hal itu berarti bahwa Kardinal Hugolinus sudah ikut campur dalam seluruh gerakan Fransiskan relatif sejak awal kelahiran gerakan tersebut. Dengan demikian, di samping teks legislatif dari tahun 1221 itu, ditambahkan sekarang dengan apa yang disebut Regula Antiqua Fratrum et Sororum Paenitentiae, yang disebut dengan istilah Memoriale Propositi.[6]
Secara tradisional, dikatakan bahwa Ordo III didirikan pada tahun 1221. Teks ini sekarang hanya diketahui lewat suatu versi yang sudah mengalami revisi yang dikonsep pada tahun 1228.
AD yang disebutkan di atas itu dapat kita baca dalam buku OMNIBUS, hal. 168-175.[7] Dalam Regula atau AD itu termuat semua unsur yang dirasakan perlu untuk sebuah Tarekat yang sesuai dengan program pribadi dan komunitair dari Fransiskus. Program itu berpusatkan pada beberapa hal berikut ini: (a) peningkatan hidup Kristiani; (b) penemuan kembali nilai fundamental, yakni INJIL; (c) komitmen terhadap kesempurnaan hidup; (d) cintakasih yang mendalam; (e) pertobatan, dalam arti: perubahan hidup yang terus-menerus. Pater Vicente Kunrath OFM menyebutnya sebagai PANCA SILA FRANSISKAN !!! (VK, hal. 5).
Dengan demikian dasar sejarah OFS sudah jelas. Semuanya lengkap. Bagaimana perkembangan selanjutnya? Ini adalah tahapan yang panjang juga. Ternyata anggota Ordo Ketiga di dalam sejarah tidak sedikit; juga yang diangkat menjadi  orang kudus Gereja: Santo-santa, Beato-beata; melebihi masing-masing Ordo I, Ordo II dan Ordo III Regular (lihat LIA, hal. 551-554). Warga segala lapisan masyarakat bergabung dengan OFS sepanjang sejarahnya yang panjang ini. Tokoh-tokoh penting dalam masyarakat seperti Raja, Ratu, Perdana Menteri bergabung dan karena kesucian hidup mereka, maka diangkatlah mereka menjadi orang-orang kudus Gereja. Demikian pula dengan ‘orang-orang biasa’, yang berprofesi sama membentuk Ordo III.
Sering kali mereka tidak membentuk komunitas lokal, seperti kita kenal sekarang. Mereka saling kenal secara akrab, tahu sama tahu, namun tidak selalu berkumpul seperti yang kita lakukan sekarang. Mereka hidup dalam rumah masing-masing, dan dari situ mereka pergi ke tugas dan profesi masing-masing, misalnya pedagang, pegawai kantor, buruh tani atau petani, buruh pertenunan. Memang sewaktu-waktu mereka berkumpul juga untuk berdoa bersama dan bertukar pikiran. Hanya saja, di kemudian hari muncul rencana untuk membentuk persaudaraan lokal, yang secara teratur berkumpul. Seringkali orang-orang yang berkumpul berasal dari profesi yang sama, yang hidup dalam rumah atau perumahan yang sama, sehingga mudah bertemu, semacam komunitas basis a la Fransiskus.
Santo Fransiskus sendiri tidak membuat peraturan hidup untuk Ordo III Regular, yaitu para anggota Ordo III yang kemudian menghayati hidup religius sebagai biarawan-biarawati. Ordo para Pentobat Fransiskan didirikan oleh Bapak Fransiskus secara eksplisit untuk orang-orang sekular, yaitu orang-orang yang hidup di dunia ini. Namun kesucian hidup pertobatan yang mereka hayati, justru dalam waktu yang tidak lama menarik sebagian anggota untuk membentuk kelompok-kelompok yang kemudian hidup membiara (bdk. JM, hal. 314-315).
BEBERAPA KESIMPULAN AWAL
Dari pembahasan kita sampai titik ini, dapatlah dibuat beberapa kesimpulan awal sebagai berikut:
  • Pengalaman gerakan pertobatan Fransiskan jelas berakar pada ordo-ordo para pentobat yang sudah ada dalam masyarakat. Namun para pentobat yang baru ini berkeinginan untuk mengasosiasikan pengalaman pertobatan mereka dengan nama Santo Fransiskus.
  • Gerakan pertobatan yang diperbaharui dari para pentobat baru ini dibentuk dalam semangat dan realitas sebagai Ordo para Pentobat Fransiskan.
  • Para pentobat Fransiskan ini adalah umat Kristiani yang berkomitmen untuk mengikuti Injil (menghayati hidup Injili) sebagai umat awam dalam status kehidupan mereka khusus mereka masing-masing, dengan menanggapi secara penuh panggilan Kristus yang dina, miskin dan tersalib.
  • Mereka bukanlah tergolong kaum religius (biarawan/biarawati dalam artiannya yang sempit), namun mereka diasosiasikan dengan kegiatan kerasulan Ordo I, dan dengan hidup kontemplatif Ordo II, jadi memberi kesaksian tentang kuasa penyelamatan Injil yang selalu baru (BL, hal. 9). 
PERKEMBANGAN PERATURAN HIDUP OFS SAMPAI KEPADA AD OFS 1978
Di atas telah diuraikan tentang Memoriale Propositi yang diterbitkan pada tahun 1221 perkembangan Ordo para Pentobat Fransiskan. Berikut ini adalah beberapa catatan tentang perkembangan beberapa peraturan hidup atau anggaran dasar untuk memahami sejarah OFS secara lebih jelas.[8]
Anggaran Dasar Paus Nikolaus IV – 1289. Kenyataan di lapangan dengan pengaturan oleh Memoriale Propositi rupanya masih memiliki potensi untuk menimbulkan ‘kekacauan’ atau ketidakjelasan/ kekurang-jelasan dalam hidup berkelompok. Itulah sebabnya, mengapa di kemudian hari, yaitu pada tanggal 9 Agustus 1289, muncul Anggaran Dasar dari Paus Nikolaus IV (seorang Fransiskan) dengan bulla Supra Montem. Anggaran Dasar ini menunjukkan keharusan bagi Ordo Ketiga untuk lebih terpusatkan (sentralisasi) dan keseragaman. Anggaran Dasar ini dipandang sebagai sebuah Anggara Dasar yang benar dan layak, khususnya bagi para pentobat Fransiskan. Anggaran Dasar dari Paus Nikolaus IV ini terdiri dari 20 bab/fasal dan berlaku praktis selama 600 tahun sampai Paus Leo XIII menggantikannya. Akan tetapi sepanjang sejarahnya yang 600 tahun itu terjadi penambahan berbagai statuta tertentu atas AD Paus Nikolaus IV ini. Yang paling termasyhur adalah Statuta atau Konstitusi Umum Paus Innocentius XI yang mulai berlaku pada tahun 1688. Statuta ini sangat penting karena membawa pengaruh atas organisasi OFS, bahkan sampai pada zaman kita ini.
Sebelum itu, yaitu pada tahun 1521, Ordo III Kebiaraan (Regular) mendapat AD tersendiri dari Paus Leo X. Jadi sebenarnya sebelum tahun 1521 (untuk lebih dari 200 tahun lamanya) kedua kelompok Ordo III, sekular dan regular, sama-sama berpegang pada AD Nikolaus IV. Kalau ditarik lebih panjang lagi ke awal gerakan Fransiskan, maka Ordo III atau ‘Saudara-saudari Pentobat Santo Fransiskus’ (baik sekular maupun yang kemudian hidup berkelompok dalam biara) bersama-sama berpegang pada AD yang sama untuk waktu lebih dari 300 tahun.
Anggaran Dasar Paus Leo XIII – 1883.  Paus Leo XIII sungguh mengagumi para ‘Saudara-saudari Pentobat Santo Fransiskus’ yang terdiri dari kaum awam ini. Pada tanggal 30 Mei 1883 beliau mengumumkan AD baru dengan konstitusi Misericos Dei Filius. AD ini merupakan Peraturan Hidup yang sederhana dan jelas apabila dibandingkan dengan AD Nikolaus IV. Pelaksanaan AD Paus Leo XIII di lapangan menjadi lebih efektif lagi karena perlindungan terus-menerus yang diberikan oleh Sri Paus kepada para  anggota Ordo Ketiga ini.
Di samping itu gerakan perubahan dari Paus Leo XIII ini membuat Ordo Ketiga lebih terbuka bagi semua orang, menjadi semacam gerakan massal juga. Ternyata Ordo Ketiga ini berhasil menjadikan dirinya primadonna dalam Gereja dan Seminari-seminari serta lembaga-lembaga pendidikan.
Sementara itu waktu berjalan terus. Peristiwa-peristiwa di dalam Gereja dan di seluruh dunia susul-menyusul dengan begitu cepatnya. Dengan demikian AD yang berlaku itu harus secara terus-menerus ditafsirkan oleh para anggota pimpinan Ordo I dan juga oleh Gereja sendiri. Dirasakanlah adanya keperluan akan suatu Konstitusi yang baru. Oleh karena itu pada tanggal 25 Agustus 1957 ‘Kongregasi Suci untuk para Biarawan-Biarawati dan Institut Sekulir’ Takhta Suci menerbitkan Konstitusi Umum Ordo Ketiga Awam. Dengan berjalannya waktu, konstitusi ini pun kemudian dirasakan kurang memadai, apalagi setelah Konsili Vatikan II. Dengan demikian orang-orang mulai yakin bahwa tibalah saatnya untuk memperbaharui AD Paus Leo XIII itu.
Anggaran Dasar Paus Paulus VI – 1978. Meskipun kelihatan dan terasa sangat tipis dan ringan, AD OFS kita yang sekarang ini adalah hasil kerja selama sebelas tahun. Jadi, dapat dipastikan bahwa isinya tidaklah ringan sama sekali.
Cerita tentang proses penyusunan AD OFS kita ini sungguh panjang. Ada sebuah disertasi doktoral yang tebal dari Pater Rober Stewart OFM yang mengupas masalah di sekitar penyusunan AD OFS ini. Ada pula seorang Kapusin Indonesia, yaitu Pater Manangar Christoforus Marpaung OFMCap. yang menulis sebuah disertasi doktoral (yang tebal juga) guna membahas ‘Pribadi Kristus di dalam AD OFS (1978) dan Konstitusi Umum OFS (1990)’. Berikut ini adalah sejarah penyusunan AD OFS kita yang diuraikan secara singkat.
Beberapa bulan sebelum penerbitan Dekrit Ecclesiae Sanctae (6 Agustus 1966), maka ‘Kongregasi Suci untuk para Biarawan-Biarawati dan Institut Sekulir’ Takhta Suci memberikan izin kepada para Minister Jendral (OFM, OFMConv., OFMCap., TOR dan OFS) untuk melakukan revisi atas legislasi Ordo III Fransiskan sekular. Ini terjadi pada tanggal 7 Maret 1966. Semua mereka yang bertanggung jawab atas Ordo III Fransiskan sekular diminta untuk mengirimkan saran-saran dan hasil observasi mereka sebelum tanggal 16 April 1967.
Berbagai jenis pertemuan diselenggarakan pada tingkat yang berbeda-beda. Saran-saran dikumpulkan. Pada bulan Juli 1968 skema poertama dari AD OFS yang baru dikirimkan kepada semua pendamping rohani tingkat nasional dan provinsial, dengan permintaan untuk mengirimkan komentar serta saran-saran mereka sebelum diselenggarakannya Kongres Ordo III Fransiskan di Assisi antara tanggal 27 September sampai 3 Oktober 1969.
Sementara itu terjadi dua peristiwa penting yang mengakibatkan tertundanya proses penyusunan AD OFS baru itu. Yang pertama adalah permintaan untuk melakukan eksperimen-eksperimen baru dalam legislasi Ordo III Fransiskan di dalam batasan-batasan yang diberikan oleh Dekrit Ecclesiae Sanctae. Permintaan itu dikabulkan. Yang kedua adalah pembentukan Diskretorium Internasional Ordo III Fransiskan di bawah ketaatan (obediensialitas) para Kapusin pada tanggal 25 Agustus 1969, yang dengan berjalannya waktu akan mengumpulkan bersama-sama Ordo Ketiga Fransiskan yang berada di bawah ketaatan yang lain-lainnya juga.
Diskusi selama Kongres di Assisi sangat hidup. Banyak indikasi berharga muncul dalam kongres ini perihal AD OFS baru yang diusulkan itu, meskipun tidak menghilangkan sama sekali kesulitan-kesulitan yang menyangkut realisasi proyek itu. Satu bukti adalah fakta bahwa meskipun dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari para Asisten Jendral dengan beberapa Fransiskan sekular yang mewakili berbagai bagian dunia dengan budaya bermacam-macam serta sebuah tim yang terdiri dari lima orang ahli, tokh prosesnya berjalan lamban.
Upaya penyusunan AD OFS baru ini mulai bergairah lagi, mendapat semangat baru, ketika Saudari Manuella Mattioli menjadi Presiden International OFS. Di bawah bimbingan yang cakap dari Pater leo Bedrunne OFM, maka konsultasi-konsultasi pada segala tingkat dimulai lagi. Berbagai pendapat dikumpulkan dan pada tanggal 30 April 1975 ‘Konferensi Para Asisten Jendral’ dengan gembira menyajikan kepada berbagai dewan nasional, sebuah konsep AD OFS baru untuk direfleksikan. Bagaimana tanggapan mereka? Berbagai observasi dan saran yang datang begitu banyak, malah barangkali dirasakan terlalu banyak.
Dalam bulan September 1976, Presiden Dewan Internasional OFS menunjuk sebuah komisi untuk mengumpulkan segala catatan serta saran dan kemudian menyunting teks akhir. Ini pun pada akhirnya siap. Teks ini diteliti dengan cermat oleh Komisi Internasional sepanjang Pekan Suci tahun 1977 dan disetujui. Pekerjaan padat selama 11 tahun pada akhirnya diselesaikan dengan penuh kebahagiaan. Tinggallah sekarang tugas para Asisten Jendral untuk memberikan sedikit final touch atas teks itu. Para Asisten Jendral menyajikan teks itu kepada para Minister Jendral yang menyetujuinya pada tanggal 9 Oktober 1977 dan kemudian menyampaikannya kepada Takhta Suci.
Takhta Suci menyetujuinya dengan bulla (surat peneguhan/pengesahan) yang dimulai dengan kata-kata Seraphicus Patriarcha (= Bapak Serafik) pada tanggal 24 Juni 1978].
Tujuan dari Anggaran Dasar OFS yang baru. Alasan jelas dikemukakan dalam artikel 3 AD OFS mengapa dirasakan perlu mengadakan revisi dan up-dating atas AD Paus Leo XIII, yaitu untuk menyesuaikan OFS dengan berbagai kebutuhan mendesak serta harapan-harapan Takhta Suci dalam kondisi-kondisi zaman yang berubah.
Sejak Konsili VatikanII, seluruh Gereja sudah mulai merefleksikan dirinya sendiri dan melihat apakah wajahnya sungguh sesuai dengan citra yang dikehendaki Kristus (Pendirinya). Demikian pula semua lembaga dalam naungan Gereja telah merasakan kebutuhan mendesak untuk melakukan up-dating atas legislasi mereka sendiri, kembali kepada sumber-sumber dan untuk menemukan kembali identitas mereka di dalam komunitas gerejawi untuk mampu berbicara kepada orang-orang zaman sekarang dalam suatu bahasa yang dapat dipahami oleh mereka.
CATATAN PENUTUP
Pembahasan lebih luas dan mendalam akan disampaikan dalam pertemuan nanti, yaitu pada waktu kita membahas AD OFS 1978. 
DAFTAR KEPUSTAKAAN
  1. Lazaro Iriarte de Aspurz OFMCap. (Translated  from the Spanish by Patricia Ross), FRANCISCAN HISTORY: THE THREE ORDERS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (asli: HISTORIA FRANCISCANA), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1983. [LIA]
  2. Santo Bonaventura (terjemahan Pater Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: Sekafi, Januari 1990. [LegMaj]
  3. Matthew Bunson, OUR SUNDAY VISITOR’S ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY, Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, Inc., 1995. [MB]
  4. Thomas dari Celano (terjemahan Pater J. Wahjasudibja OFM), ST. FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, Oktober 1981. [1Cel dan 2Cel]
  5. Joseph A. Favazza, THE ORDER OF PENITENTS – HISTORICAL ROOTS AND PASTORAL FUTURE, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1988. [JAF]
  6. Vincenzo Frezza OFMCap. (Translated from the Italian L’Evangelica Forma di Vita by Diego Sequeira OFMCap.), THE GOSPEL WAY OF LIFE, Manila, Philippines: Secular Franciscan Order of the Philippines, 1991. [VF]
  7. Cletus Groenen OFM (Penerjemah, pemberi Pengantar dan Catatan), KISAH 3 SAHABAT – Riwayat Hidup Santo Fransiskus dari Asisi, Jakarta: Sekafi, 2000. [K3S]
  8. Marion A. Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES – English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis, Quincy, Illinois: Franciscan Press – Quincy College, 1991 (4th Revised Edition). [OMNIBUS]
  9. Vicente Kunrath OFM, SEJARAH OFS, disusun dalam rangka pembinaan para anggota OFS Persaudaraan Santo Ludovikus IX, Jakarta, Yogyakarta: 13 September 1997. [7 halaman]. [VK]
  10. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi Pengantar dan Catatan), KARYA-KARYA FRANSISKUS, Jakarta: Sekafi, 2001 (Cetakan pertama setelah pembaruan tahun 2001).
  11. Benedetto Lino OFS, THE HISTORY OF THE SECULAR FRANCISCAN ORDER AND OF ITS RULE dalam FORMATION MANUAL FOR FORMATORS FOR INITIAL FORMATION, CIOFS PRESIDENCY, 2008. [BL]
  12. James Meyer OFM, THE WORDS OF ST. FRANCIS – AN ANTHOLOGY, Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1982 (Revised Edition Commemorating the Eight Hundredth Anniversary of the Birth of St. Francis) [JN]
  13. Raffaele Pazzelli TOR (Translated from the Italian by the author), ST. FRANCIS AND THE THIRD ORDER – THE FRANCISCAN AND PRE-FRANCISCAN PENITENTIAL MOVEMENT (asli: SAN FRANCESCO E IL TERZ’ORDINE: IL MOVIMENTO PENITENZIALE),  Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1989. [RP] 
Cilandak, 11 Juni 2010 [HARI RAYA HATI YESUS YANG MAHAKUDUS ]
Perbaikan terakhir: 28 Juli 2010

[1] Doktrin ini berdasarkan fondasi alkitabiah secara eskplisit sebagaimana dapat dilihat dalam ‘Surat Yohanes yang pertama’ sehubungan dengan dosa-dosa setelah seseorang dibaptis (1Yoh 1:8-10), namun dosa-dosa tersebut dapat diampuni melalui Kristus (1Yoh 2:1-2), dengan catatan orang  tersebut meninggalkan dosa-dosanya dan berbalik kepada Allah.
[2] Ratherius dariVerona (ca. 887-974), misalnya,  memberi kesaksian tentang keberadaan dua macam pentobat  ini dalam gerakan para pentobat di masa hidupnya (RP, hal. 41).
[3] Kathari, kata Yunani yang berarti “murni” adalah sejumlah sekte bid’ah yang dapat ditemukan di Eropa dalam periode 1100 dan 1200-an. Nama ini pertama-tama diterapkan pada masa Gereja awal oleh Santo Epiphanius pada beberapa sekte bid’ah, yaitu para anggota Novatianis dan kelompok-kelompok Manikhean tertentu. Penggunaan istilah Kathari ini semakin meluas dan populer di beberapa daerah pada abad pertengahan. Kebanyakan kaum Kathari adalah penganut aliran dualisme yang cikal-bakalnya adalah Manikheanisme dari Mani (Manes) si orangPersia (c.215-276). Mereka mengajar/berkhotbah agar orang-orang melakukan mati-raga yang keras dan juga menyerang Gereja, khususnya para klerus, sebagai korup dan jahat. Para anggotanya di Perancis dikenal sebagai kaum Albigensian karena berpusat dikota Albi, Perancis bagian selatan (MB, hal 174).
[4]Kaum Waldenses atau Waldensian (Valdesii) adalah sebuah sekte bid’ah yang mula-mula berkembang di abad ke-12 dan berhasil survive sampai abad ke-20. Nama ini diambil dari nama pendirinya, Peter Waldo (Valdes) dariLyons (+1217), yang kemudian dikenal sebagai Orang Miskin dariLyons. Asal mulanya Waldo adalah seorang saudagar di Lyons, yang bertobat dan terjun ke dalam kehidupan sebagai pengemis. Ia mulai menjadi pengkhotbah dan membagi-bagikan harta-kekayaannya kepada orang-orang miskin dan dengan cepat memperoleh para pengikut. Komunitas-komunitas mereka bermunculan di Perancis, kemudian menyebar dengan cepat ke Italia dan Spanyol. Kaum Waldenses ini berkhotbah dengan agresif mengkritisi kekayaan dan kelemahan-kelemahan para klerus. Pada akhirnya kaum Waldenses memisahkan diri dari Gereja dan mengangkat klerus mereka sendiri. Jumlah penganut mereka bertambah dan upaya penyatuan kembali dengan Gereja dilakukan pada tahun 1191 dan 1207. Namun pengejaran (oleh Gereja) terhadap kaum Albigensian akhirnya menyeret kaum Waldenses ini juga, sehingga jumlah mereka sangat menyusut  (MB, hal. 906).
[5] Benedetto Lino OFS malah yakin bahwa bukan kebetulanlah pada tahun 1215 Fransiskus menulis 1SurBerim yang kini (sejak tahun 1978) menjadi Mukadimah Anggaran Dasar OFS. Dari situ Sdr. Benedetto Lino OFS mengatakan  bahwa Fransiskus dengan tekun mengikuti perkembangan ketiga ordonya: Ordo I [1209], Ordo II [1211], yang telah bertumbuh-kembang dengan baik dan pesat, kemudian Ordo III [1215]. Sebenarnya Fransiskus tidak  berniat mendirikan ordo religius.  Namun ia membiarkan dirinya dibimbing oleh Roh Kudus pada saat-saat pembentukan ketiga ordonya. Dia menyambut baik kenyataan apa yang terjadi dengan perkembangan pesat keluarga Fransiskan tanpa rencana yang ditetapkan semula itu. Dia hanya menyadari bahwa ketiga ordo (masing-masing sesuai kondisi sendiri-sendiri) itu berhubungan dengan misi apostolik yang diembannya, yaitu untuk memperbaiki Rumah Tuhan. Dan, “…… Ordo III yang berasal-usul dari ajaran Fransiskus, secara yuridis lahir otonom, baik dari Ordo I maupun Ordo II. Inilah yang dikemukakan oleh Andrea Boni OFM (lihat BL, hal. 8).
[6] Draft/konsep pertama dari Memorial propositi, yang kemudian dipandang sebagai peraturan hidup pertama bagi Ordo Pentobat Fransiskan [1221] diperkirakan sebagai hasil karya Kardinal Hugolinus. Teks legislatif ini penuh dengan pengambilan-oper dari Propositum kaum Humiliati yang disetujui oleh Paus Innocentius III pada tahun 1201.
[7] Judulnya dalam bahasa Inggris: FIRST RULE OF THE THIRD ORDER, yang terdiri dari 8 (delapan) bab. Bab I tentang ‘Kehidupan Sehari-hari’; bab II tentang ‘Pantang serta Mati Raga’; bab III tentang ‘Puasa’. Bab IV tentang ‘Doa’; bab V tentang ‘Sakramen-sakramen dan Hal-lain lainnya’; bab VI tentang ‘Misa Istimewa dan Pertemuan Bulanan’; bab VII tentang ‘Mengunjungi Orang Sakit dan Menguburkan Orang Mati’; bab VIII tentang ‘Koreksi, Dispensasi dan Pengurus’. Lihat juga James Meyer OFM, THE WORDS OF ST. FRANCIS – AN ANTHOLOGY, Chicago,Illinois: Franciscan Herald Press, 1982 (Revised Edition Commemorating the Eight Hundredth Anniversary of the Birth of St. Francis), hal. 314-326.
[8] Sumber utama tulisan untuk bagian ini adalah Vincenzo Frezza OFMCap. (Translated from the Italian L’Evangelica Forma di Vita by Diego Sequeira OFMCap.), THE GOSPEL WAY OF LIFE, Manila, Philippines: Secular Franciscan Order of the Philippines, 1991dan Lazaro Iriarte de Aspurz OFMCap. (Translated  from the Spanish by Patricia Ross), FRANCISCAN HISTORY: THE THREE ORDERS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (asli: HISTORIA FRANCISCANA), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1983.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar