Kamera 1

Sabtu, 07 Januari 2012

SEJARAH ORDO FRANSISKAN SEKULAR (3)

SEJARAH ORDO FRANSISKAN SEKULAR (3) 




Sejarah gerakan Fransiskan dari zaman ke zaman dihiasi dengan indahnya oleh tokoh-tokoh Fransiskan sekular. Beberapa hari lalu (tanggal 22 Juni) kita baru saja memperingati Santo Thomas More (1480-1535), seorang perdana menteri yang lebih setia kepada Raja Surgawi daripada Raja negeri Inggris. Untuk itu dia pun mati sebagai seorang martir Kristus. Pada akhir bulan ini kita juga akan memperingati seorang martir Kristus yang adalah Fransiskan sekular pula: Beato Raimundus  Lullus (1236-1314), seorang bangsawan dari Palma, Mallorca sangat terpelajar yang mendirikan ‘akademi’ untuk menggembleng calon-calon misionaris untuk pergi memberitakan Kabar Baik Yesus Kristus ke tengah-tengah kaum Muslim di Afrika Utara. Dia pun pada akhirnya harus mati sebagai martir di Afrika Utara.
Sudah beberapa abad lamanya daftar para kudus Fransiskan dihiasi dengan nama-nama para kudus anggota Ordo III S. Fransiskus dari benua Asia, banyak sekali dari nama-nama itu adalah para  martir Kristus, misalnya para martir Nagasaki (+ 1597: martir-martir pertama Timur Jauh, dikanonisasikan oleh Paus Pius IX pada tahun 1862) dan banyak lagi, termasuk para martir perang Boxer di Tiongkok pada tahun 1900.

MAKNA ORDO III S. FRANSISKUS DI DALAM SEJARAH

Para Fransiskan sekular adalah orang-orang awam yang tinggal di dunia, di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang sibuk dengan berbagai kegiatan yang langsung berhubungan dengan pembangunan dunia menurut pola Allah yang diungkapkan dalam Injil Tuhan kita Yesus Kristus. Dalam artian seperti itu, para Fransiskan sekular adalah orang-orang Kristiani sekular dan Injili. Mereka menghayati spiritualitas Fransiskan di tengah dunia, di tengah kesibukan sehari-hari.

Retret Kenaikan Tingkat Tahun 2008  di Tirtaria
Retret Kenaikan Tingkat 2011 di Tirtaria


Apa makna keberadaan Fransiskan sekular pada abad pertengahan?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus tetap mempertimbangkan struktur masyarakat dan kondisi kehidupan yang ada pada zaman itu. Para Fransiskan sekular hidup dalam kenyataan sehari-hari dari dunia zaman itu. Mereka terdiri dari para pedagang, kaum buruh, para cendekiawan, para ksatria, para ahli hukum dan sebagainya. Mereka tidak mengikrarkan kaul sebagai para biarawan-biarawati, namun juga tidak sama dengan orang awam yang lain. Mereka tidak tergolong klerus (oratores), tetapi tetap mengambil beberapa hal dari pola kehidupan para rahib yang sibuk dengan doa, liturgi dan urusan gerejawi. Sebagai ksatria, mereka tidak mau angkat senjata (bellatores). Mereka ikut dalam struktur masyarakat feodal dengan atasan-atasan dan bawahan dan pemilikan tanah, namun tidak ikut mengucapkan sumpah kesetiaan yang sebenarnya menjadi ikatan yang menjamin struktur masyarakat feodal itu. Sebagai buruh/pekerja (laboratores) mereka mengolah tanah, namun tidak ditentukan oleh hukum untung-rugi saja, tidak ikut-ikutan dalam persaingan dan mereka menjauhkan diri dari urusan perbankan.



Menurut Pater Vicente Kunrath OFM, ideal rohani seperti itu sulit untuk dipertahankan dalam masyarakat baru yang telah berubah, antara lain dalam sistem ekonomi baru dengan pemakaian mata uang yang semakin intensif. Ketidak-jelasan situasi yang baru menimbulkan kecenderungan untuk melakukan ‘penyesuaian’, artinya mencari bentuk hidup seturut model para rahib dan rohaniwan resmi, atau membentuk persaudaraan-persaudaraan. Namun demikian, lanjut Sdr. Vicente, kedua bentuk tadi sebenarnya tidak menjawab hakekat yang asli dari OFS, yaitu bahwa para Fransiskan sekular sebenarnya tidak terikut dan tidak terikat pada tempat tertentu, pada regio tertentu. Hakekat sekularitas Kristiani adalah tidak menetap pada salah satu tempat sebagai lambang persaudaraan. Persaudaraan ini mempunyai tempatnya di tengah dunia dan masyarakat. Dan rupanya segi dan dimensi fundamental itu sampai sekarang belum juga terwujud (VK, hal. 6).
Dalam uraian-uraian di bawah, kita akan melihat nama-nama dari beberapa tokoh besar Fransiskan sekular. Namun demikian janganlah sampai kita singkirkan dan/atau lupakan mereka yang lain, yang mayoritas terdiri dari orang-orang biasa, namun amat dekat dengan kehidupan dalam masyarakat. Mereka itu telah berhasil membentuk suatu suasana yang tak tergantikan, hidup Katolik yang sejati, memiliki saling pengertian yang mendalam, berkomunikasi satu sama lain dalam cintakasih dan iman!

PERKEMBANGAN ORDO III S. FRANSISKUS DARI ABAD KE ABAD

Abad ke-13 – Proto Regula. Seperti telah disebutkan pada sesi sebelum ini (lihat hal. 10), para ahli sepakat, bahwa ‘Peraturan Hidup’ yang diberikan oleh S. Fransiskus adalah 1SurBerim (lihat BL, hal. 10; bdk. RS, hal. 135; lihat juga LIA, hal. 483). Ada beberapa nama yang diberikan untuk 1SurBerim ini, a.l. Proto Regula/Primitive Rule, Epistola ad Fideles (Recensio prior): “Exhortatio ad fratres et sorores de poenitentia” (Lihat RS, bab III, hal. 135-216).

 

Proto Regula yang dimasukkan sebagai Mukadimah AD OFS kita sekarang akan dibahas oleh Pater Yan Ladju OFM. Di sini saya hanya mau mengemukakan bahwa surat ini berisikan 5 (lima) unsur fundamental bagi suatu hidup pertobatan sejati yang diabdikan kepada Tuhan, yaitu (1) mengasihi Allah; (2) mengasihi sesama; (3) menolak kecenderungan-kecenderungan dosa dari kodrat manusiawi kita; (4) ikut ambil bagian dalam Tubuh Kristus (Komuni Kudus); dan (5) bertindak dan hidup sesuai dengan pertobatan kita (BL, hal. 10; bdk. RS, hal. 169).
Dengan melaksanakan cara hidup yang sederhana ini, Fransiskus menjamin kita akan terserap dalam kehidupan ilahi, dalam Tritunggal Mahakudus itu sendiri. Fransiskus menyatakannya begini:
  • Roh Kudus akan datang masuk ke dalam diri para pentobat dan berdiam dalam diri mereka.
  • Kita semua adalah anak-anak Bapa surgawi apabila kita melakukan kehendak-Nya.
  • Kita menjadi mempelai, saudara dan ibu Tuhan Yesus.
  • Kita membawa Dia dalam hati kita dan membawa-Nya kepada orang lain lewat pekerjaan-pekerjaan kita yang suci.
Tidak ada kemungkinan lain untuk suatu persatuan yang lebih akrab dengan Allah. Bahkan pada hari ini, rekomendasi-rekomendasi ini lebih dari cukup untuk suatu kehidupan sebagai seorang Fransiskan sekular. Oleh karena itu, setiap pribadi Fransiskan sekular dianjurkan untuk sering membaca dan merenungkan Mukadimah AD OFS yang diambil dari 1SurBerim ini (BL, hal. 10-11).
Proto Regula inilah yang menjadi panduan hidup para pentobat Fransiskan (lihat Fioretti, 16 yang terdapat dalam bahan bacaan untuk sesi pertama) pada awalnya. Gerakan pertobatan Fransiskan ini terus bertumbuh, demikian pula dengan pengalaman Fransiskus dan para pentobatnya sehingga sekitar tahun 1221 Fransiskus mempersiapkan teks ‘surat’ kedua yang ditujukan kepada para pentobatnya (2SurBerim). Para ahli lebih suka menamakan surat ini ‘Petuah dan Peringatan (yang dikeluarkan) Belakangan kepada para Saudara dan Saudari Pentobat’. 



Dalam teks 2SurBerim, yang merupakan buah pengalaman konkret, beberapa hal dibuat menjadi lebih eksplisit, misalnya cintakasih, kedinaan, pelayanan, doa, puasa dan pantang, dlsb. Jelas di sini bahwa keprihatinan Fransiskus adalah untuk menstabilkan gerakan ini dengan ortodoksi penuh, untuk menghindari perkembangan ke arah bid’ah dan untuk bertindak tegas terhadap penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi. Memang dengan semakin banyaknya jumlah anggota dan tentunya semakin sulit untuk dikendalikan, diperlukanlah kodifikasi hal-hal yang tak boleh berubah, yang akan menjamin suatu kesetiaan yang lebih besar terhadap semangat orijinal dari gerakan ini. Ini adalah contoh paling baik bagaimana suatu peraturan harus dikodifikasikan, yaitu sebagai akibat dari pengalaman religius konkret yang didasarkan pada hidup riil, bukannya teks yang dikodifikasikan berdasarkan pertimbangan hukum abstrak yang murni. Hidup datang pertama dan hukum ada untuk melayani orang, bukan sebaliknya (BL, hal. 11).
Sementara itu khotbah-khotbah dan kehidupan Fransiskus telah menyebab-kan terjadinya kebangunan rohani secara meluas di kalangan umat awam. Pada titik inilah penting bagi para pentobat untuk memperoleh arahan yang jelas, sehingga Kardinal Ugolino memutuskan untuk menerbitkan sebuah peraturan hidup, yang dikenal sebagai Memoriale Propositi. Dokumen ini sendiri tidak pernah memperoleh persetujuan dari Paus, karena para Paus dan pentobat tidak menganggapnya perlu. Inti dari Memoriale Propositi adalah kewajiban-kewajiban dalam rangka pertobatan yang sudah dikodifikasikan oleh Gratian pada tahun 1140. Pertobatan sukarela  sudah lama diakui secara kanonik (BL, hal. 12).
 

Lazaro Iriarte de Aspurz OFMCap. menyatakan kurang lebih begini: Tidak ada indikasi yang lebih jelas dari luasnya gerakan Fransiskan dalam abad ke-13, daripada pertumbuhan yang berhasil dicapai pada waktu itu oleh Ordo Pertobatan S. Fransiskus. Ideal atau cita-cita Injili, dengan pesannya yang menyangkut kasih dan damai, kehidupan keluarga yang kudus dan pekerjaan sehari-hari, mengumpulkan bersama para raja, ratu/permaisuri, bangsawan dan orang biasa, akademisi dan pekerja tangan atas dasar kesamaan Kristiani. Sebagai contoh, daftar anggota sebuah persaudaraan di Bologna di tahun1252, mencakup notaris, juru tulis, tukang potong rambut, pembuat sepatu, tukang kayu, pembuat roti, apoteker dlsb. (LIA, hal. 487).



Para Saudara dan Saudari Pentobat S. Fransiskus ini tidak hanya membentuk konfraternitas untuk tujuan-tujuan kesalehan atau karitarif seperti banyak komunitas non-Fransiskan yang ada pada abad ke-13; melainkan juga sangat dipenuhi kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari ‘bala tentara’ yang berskala dunia dan juga suatu ordo religius, dengan segala privilesenya. Di atas sudah diuraikan bahwa mereka bebas dari janji yang a.l. menyangkut keharusan untuk mengangkat senjata dlsb. Hal ini penting terutama kalau kita lihat bahwa hal ini terjadi dalam masyarakat feodal. Juga mereka dibebaskan dari pekerjaan/jabatan publik yang dinilai tidak cocok dengan status  religius mereka. Pada tahun 1221 Paus Honorius III dan pada tahun 1227 Paus Gregorius IX, dengan 14 bulla yang dialamatkan kepada orang yang berbeda-beda, juga paus-paus berikutnya dengan beraneka ragam intervensi, datang membela para Pentobat karena penindasan/kesusahan yang mereka derita karena tidak mengucapkan sumpah ini dan itu serta dibebaskan dari tugas-tugas publik. Pada tahun 1294 tercatat Paus Celestinus V membebaskan anggota ordo III di Aquila dari pembayaran pajak kotapraja dengan alasan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang mendedikasikan diri kepada Yang Ilahi. Lazaro Iriarte de Aspurz OFMCap. mencatat bahwa dukungan-dukungan para paus ini, teristimewa selama tahun-tahun konflik dengan Kaisar Frederick II, tidaklah lepas dari kepentingan politik. Karena dengan tidak ikutnya anggota Ordo Pentobat S. Fransiskus menjadi serdadu dalam pasukan para pendukung Kaisar, berarti mengurangi jumlah serdadu mereka; namun dari sisi lain hal ini membantu membawa perdamaian bagi republik-republik Italia yang selama itu bergejolak terus (LIA, hal. 487).

 

Regula Bullata: Supra Montem.
Semua berjalan seperti ini sampai tahun 1274, tahun dimana Konsili Lyons II memutuskan untuk memperlakukan secara lebih ketat pokok-pokok yang telah ditentukan dalam Konsili Lateran IV (1215) berkaitan dengan larangan munculnya ordo-ordo religius yang baru. Konsili ini memutuskan bahwa ordo-ordo yang berasal-usul setelah Konsili Lateran IV harus dihapus. Sekarang, walaupun para pentobat S. Fransiskus telah menerima persetujuan dari Takhta Suci pada waktunya dulu, mereka belum menerima suatu persetujuan dalam bentuk sebuah bulla kepausan. Lagipula ada masalah lain dengan Ordo I. S. Bonaventura mengemukakan 12 alasan mengapa para Saudara Dina seharusnya tidak mempromosikan Ordo III/Pentobat), kepada para Uskup, para pejabat pemerintahan sipil, sehingga dengan demikian para pentobat mulai merasa takut bahwa mereka dapat mengalami tekanan. Maka mereka pun mulai menyusun prosedur-prosedur yang diperlukan agar memperoleh Peraturan Hidup yang disetujui/disahkan seperti ordo-ordo religius lainnya.
Ada dua orang Fransiskan sekular yang terlibat dalam promosi, koordinasi dan penyusunan Peraturan Hidup ini, yaitu seorang hakim yang bernama Ugolino de’Medici di Ferrara dan saudara laki-lakinya yang bernama Elias. Maka pada tanggal 18 Agustus 1289 terbitlah Peraturan Hidup/Anggaran Dasar dengan bulla Supra Montem dari Paus Nikolaus IV (1288-1292), Paus Fransiskan pertama yang sebelumnya bernama Hieronimus [Girolamo Masci] dari Ascoli. Hanya dengan sedikit kekecualian, semangat dan apa yang tertulis dalam Memoriale Propositi masuk ke dalam Peraturan Hidup baru ini, dengan penambahan suatu ciri Fransiskan yang lebih lebih spesifik. Peraturan Hidup yang baru ini tidak memperkenankan adanya struktur organisasi para Fransiskan sekular untuk mempunyai minister jenderalnya sendiri sesuai yang begitu lama diinginkan dan diperjuangkan. Sekarang mereka tidak dapat melakukan apa-apa karena tidak seperti Memoriale Propositi yang dapat ditambah di kiri dan di kanan, kali ini Peraturan Hidup sudah diterbitkan dengan bulla. Hal ini dibahas dalam sebuah kapitel Ordo III di Bologna (4 provinsi Italia Utara) dan diajukan kepada Sri Paus, namun tidak pernah memperoleh jawaban (lihat BL, hal. 13).
Maksud Sri Paus di sini adalah agar para religius Fransiskan menempatkan para pentobat itu di bawah otoritas mereka. Tidak sampai setahun berlalu, Paus Nikolaus IV menerbitkan sebuah Bulla Unigenitus Dei Filius, di mana dengan dengan jelas dinyatakan bahwa para pentobat harus diarahkan dan diatur oleh para Saudara Dina, dengan demikian menarik segala privilese yang  telah diberikan dan menghancurkan segala harapan untuk memperoleh struktur organisasi di mana para pentobat mempunyai minister provinsial dan minister jenderalnya sendiri.



Dalam era inilah (1295) pengakuan pertama kali oleh Paus Bonifasius VIII (1294/1295-1303) dilakukan atas sebuah kongregasi pertobatan yang hidup bersama. Ini adalah awal kongregasi yang kemudian dikenal sebagai TOR.
Istilah Ordo Ketiga baru dipakai pada akhir abad ke-13. Sesungguhnya para pentobat tidak senang akan istilah ‘Ordo III’, dan selama itu memang menentangnya. Supra Montem juga tidak menyebut mereka Ordo III, melainkan sebagai ‘Ordo orang-orang yang bertarak atau Pentobat yang didirikan oleh Santo Fransiskus’. S. Bonaventura juga menamakan mereka ‘Ordo para Saudara Pertobatan’.
Abad ke-14. Ini adalah masa di mana para Paus hidup dalam pengasingan di Avignon. Beda Paus, beda pula posisinya terhadap para pentobat S. Fransiskus, yang terus berjuang untuk diakui hak-haknya dan aspirasi-aspirasinya akan otonomi, sementara para religius Fransiskan terus saling ‘berkelahi’ satu sama lain untuk dapat menguasai para pentobat di bawah otoritas eksklusif mereka masing-masing.
Bagaimana dengan para Paus dalam periode ini? Walaupun mereka tidak memberikan otonomi dan struktur organisasi kepada para pentobat seperti dihasrati mereka, para Paus ini pada umumnya mempunyai pandangan positif terhadap para pentobat S. Fransiskus. Mereka masih bebas tanpa harus ditundukkan di bawah para religius dan masih diperbolehkan memilih sendiri Visitor (Pendamping Rohani sekarang). Mereka masih terus mengembangkan organisasi mereka sendiri dan memilih minister provinsial mereka sendiri.



Itulah masalah organisasi dan otonomi yang diperjuangkan. Bagaimana dengan cara hidup para pentobat itu dalam masyarakat? Pater Gabriele Andreozzi TOR memberikan gambaran yang indah sebagai berikut: “… kasih dan bela rasa mereka terhadap orang-orang miskin diakui oleh semua orang; … mereka menjalani suatu kehidupan yang pantas dipuji, bertindak dalam kedinaan dan kejujuran, dengan semangat dan kasih iman Kristiani; mereka membedakan diri dari status kebangsawanan mereka dan kelimpahan benda-benda duniawi dari mana mereka memberikan banyak derma kepada orang-orang miskin dan para hamba Allah; para saudara dan saudari memberikan teladan yang baik lewat hidup jujur mereka dan karya baik mereka; mereka hidup dalam damai …; mereka menepati Peraturan Hidup mereka dalam iman Katolik dan kesucian …; mereka memancarkan terang keutamaan-keutamaan suci dan kesucian itu sendiri seperti bintang-bintang yang bersinar; mereka menghormati para Saudara Dina; mereka mengabdikan diri mereka kepada doa dan pemberian derma, mereka adalah sebuah contoh hidup Kristiani yang bercahaya” [1]



Patut dicatat di sini adanya kecurigaan terhadap berbagai gerakan bid’ah juga mempunyai pengaruh atas organisasi sekular apa saja yang mempunyai kecenderungan Injili. Pada awal abad ke-14 Ordo Pertobatan S. Fransiskus  sangat menderita karena hal ini. Pengejaran atas diri para Fransiskan sekular ini disebabkan oleh karena adanya persamaan gaya hidup antar para pentobat Fransiskan ini dengan kelompok Beghards, Béguins dan Fraticelli, yang kekeliruan-kekeliruannya telah dikutuk di Konsili Vienna. Paus Klemens [Clement] V (1305-1314) memberi perintah untuk dilakukannya investigasi, dan ketika merasa pasti atas ortodoksi dari mereka yang diperiksa, maka dia pun mengkorfirmasi Anggaran Dasar Nikolaus IV pada tahun 1308. Ordo Pentobat Fransiskan tidak terkena hukuman, namun stigma ini terus berlanjut bahkan pada masa pontifikat Paus Yohanes XXII (1316-1334). Paus ini membela para Fransiskan sekular pada tahun 1318 dan 1321, bahkan dia mengancam untuk mengekskomunikasikan beberapa uskup Perancis yang terus saja tidak dapat membedakan mereka dengan para anggota Beghards dan Béguins (lihat LIA, hal. 489).
Hal ini ditambah dengan musibah Black Death dan Skisma Besar pada abad ke-14, telah menyebabkan menurunnya jumlah anggota Ordo III, sesuai dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Bartolomeus dari Pisa. Namun demikian jumlahnya masih besar juga. Beberapa angka statistik tahun 1385 mencatat persaudaraan yang di bawah ketaatan Ordo Saudara Dina berjumlah 244: 141 di Italia dan di Timur, 23 di Spanyol, 29 di Perancis, 37 di negeri-negeri Jerman, dan 8 di pulau-pulau Inggris (LIA, hal. 489).

 

Abad ke-15. 
 Dalam periode ini pro dan kontra otonomi para pentobat masih berlanjut terus, seperti juga aspirasi yang tak mati-mati dari para pentobat untuk mempunyai minister jenderal mereka sendiri. Paus silih berganti, demikian pula dengan para uskup. Seringkali yang menggantikan membatalkan apa yang telah dilakukan oleh dia yang digantikan. Menurut Sdr. Benedetto Lino OFS, hal ini disebabkan karena orang tidak peduli untuk mempelajari sejarah atau inspirasi dasar dari asal-usul agar dapat melakukan evaluasi masalah yang dihadapi benar-benar dalam suatu konteks Gereja dan dunia. Juga terdapat kepentingan pribadi (BL, hal. 14).
Tentu saja ada contoh-contoh kesucian pribadi, seperti ditunjukkan oleh nama-nama beberapa Saudara Dina di bawah ini. Namun demikian semangat sebagai anggota keluarga Fransiskan yang sama tidak ada dan tujuan pelayanan kerasulan yang dipercayakan oleh Fransiskus kepada segenap komponen keluarganya kebanyakan diabaikan. Yang ada adalah semangat untuk mendominasi, antara laki-laki dan perempuan di kalangan para pentobat, para saudara dina dengan para uskup, para uskup dengan para saudara dina, orang-orang mencoba untuk melindungi kepentingan masing-masing. Fransiskus dan kemurnian panggilannya menjadi sangat jauh. Seringkali kharisma dihina dan misi dilupakan. Hanya individu-individu tertentu saja yang setia melanjutkan rencana asli Fransiskus (lihat BL, hal. 14).



Akan tetapi pada abad ke-15 ini Ordo III Fransiskan mengalami kebangkitan lagi, terutama karena kegiatan promosi yang dilakukan oleh para pengkhotbah Ordo I Observant, teristimewa S. Bernardino dari Sienna (1380-1444), S. Yohanes Capistrano (1385-1456) dan Bernardino de Bustis (+1500). Bukti tentang ekspansi baru ini diberikan oleh S. Antoninus dari Florence (+1459) yang menulis mengenai ciri-ciri gerejawi dari para anggota Ordo III S. Fransiskus, sejak abad ke-13 dikenal di Italia sebagai pinzocheri. Bukti dari S. Antoninus ini sangat dapat diandalkan karena justru dia bukanlah seorang Fransiskan, melainkan seorang Dominikan. Dia mengatakan bahwa para cendekiawan Gereja tidak mendiskusikan Ordo III S. Dominikus sebanyak/sesering mereka mendiskusikan Ordo III S. Fransiskus, karena di Italia hanya terdapat sedikit anggota Ordo III S. Dominikus, dan hampir tidak ada anggota perempuannya; sedangkan banyak laki-laki maupun perempuan telah mengikuti Peraturan Hidup dan memakai jubah Ordo III S. Fransiskus, sebagian hidup sebagai pertapa , sebagian kerja melayani di panti-panti dan rumah sakit, dan lain-lainnya berkumpul dalam komunitas-komunitas.  Jadi, kiranya bukanlah omong-besar apabila Bernardino de Bustis dalam salah satu khotbahnya mengatakan: “Ordo ini sangat besar dalam jumlah anggotanya. Seluruh dunia Kekristenan dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan yang dengan sungguh-sungguh menepati Peraturan Hidup Ordo III.”  (LIA, hal. 490).
Dalam periode ini Ordo III S. Fransiskus juga menghadapi para pengeritik sehingga S. Yohanes dari Capistrano harus turun tangan membela status gerejawi dan kebebasan hukum para Fransiskan sekular. Dia menulis pembelaannya dalam Defensorium tertii ordinis beati Francisci (LIA, hal. 490).



Abad ke-15 juga mencatat akhir dari otonomi dan awal dari ‘obedientialitas’. Paus Sixtus IV (1471-1484), juga seorang Fransiskan, pada tahun 1471 menerbitkan bulla Romani Pontificis Providentia. Bulla ini merupakan sebuah langkah mundur dan sungguh menghalangi kehidupan para pentobat S. Fransiskus Lewat Bulla ini, Sri Paus menempatkan para Saudara dan Saudari Ordo III S. Fransiskus di seluruh dunia, di bawah kontrol para Saudara Dina, baik Observant maupun Conventual! Surat ini ditujukan kepada Sdr. Zanetto dari Udine, Minister Jenderal, dan kepada semua Minister Provinsial Ordo Saudara Dina, yang minta akan hal itu. Dengan Bulla  ini, Sri Paus menganugerahkan kepada Ordo I superioritas, kuasa dan wewenang, bersama dengan larangan bagi para uskup untuk ikut campur tangan dalam urusan para anggota Ordo III S. Fransiskus. Relasi antara  Ordo Pertama dan Ordo Ketiga praktis diatur oleh Bulla ini sampai dibatalkan oleh AD OFS 1978 dari Paus Paulus VI (BL, hal. 14-15).
Menurut Benedetto Lino OFS, keputusan Paus Sixtus IV ini bertentangan dengan asal-usul, sejarah dan sifat dari Ordo Pertobatan dan Ordo Saudara Dina, dan di atas segalanya bertentangan dengan kehendak Santo Fransiskus, bapa dan pendiri kedua ordo tersebut (BL, hal. 15). G. Andreozzi mengatakan demikian: “Sejak saat itu, ditempatkan di bwah superioritas, otoritas dan kuasa para Superior Saudara Dina, baik Conventual dan Observant, dan kemudian TOR dan Kapusin, para Pentobat berhenti sebagai subjek yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, sebagai pribadi moral dalam Gereja, dan menjadi sebuah objek, dan lebih buruk lagi adalah diperebutkan oleh banyak pihak.” Andreozzi menambahkan, bahwa istilah Ordo III, malah diartikan sebagai accessory, tergantung pada Ordo I, sebuah apendix yang bersifat marginal pada Ordo I  (G. Andreozzi, hal. 181; lihat BL, hal. 15).

 

Capaian dalam bidang kerohanian dalam tiga abad pertama.

Pertumbuhan pesat Ordo III S. Fransiskus dan pentingnya peranannya dalam masyarakat Kristiani sebenarnya kecil apabila dibandingkan dengan apa yang berhasil dicapai dalam bidang kerohanian, lewat kesucian hidup para anggotanya dan betapa mulianya cita-cita mereka. Hal ini dapat kita lihat dari daftar para kudus anggota Ordo III S. Fransiskus yang berasal dari segala lapisan masyarakat. Ada yang raja/ratu/permaisuri atau bangsawan, a.l. S. Elisabet dari Hungaria (+1231), S. Ludovikus IX (+1270), S. Elisabet dari Portugal (+1336), S. Elzearius dari Sabran (+1323) dan istrinya B. Delphina dari Glandèves (+1360). Ada imam projo yang saleh, a.l. S. Ivo dari Britanny (+1303). Ada martir: B. Jakobus dari Cittá della Pieve (+1286). Ada pentobat, seperti S. Margaret dari Cortona (+1297). Ada petani seperti S. Rosa dari Viterbo (+1251) dan ada pula tukang buat sepatu B. Novelone dari Faenza (+1280). Tentu tidak boleh dilupakan B. Luchesio dari Poggibonsi (+1260) dan istrinya Buonadonna, petani yang menjadi pedagang dan kemudian menjadi Fransiskan sekular yang aktif dalam karya karitatif. Menurut tradisi mereka berdua adalah Fransiskan sekular yang pertama dan ‘katanya’ menerima jubah Ordo Ketiga-nya langsung dari tangan S. Fransiskus sendiri.
Lingkungan tempat bertumbuhnya kekudusan Injili ini adalah kehidupan Kristiani itu sendiri dalam segala aspeknya yang banyak itu, dan semua itu mengkristal dalam proyek-proyek kerasulan/karitatif. Di mana saja sebuah persaudaraan didirikan, tidak lama kemudian sebuah rumah sakit atau lembaga sosial lainnya didirikan berkat kontribusi para anggota persaudaraan yang baru didirikan itu. Lembaga-lembaga ini biasanya dikelola oleh para anggota yang ‘berkaul’ istimewa untuk menghayati kehidupan yang bebas dari segala ikatan duniawi. Mereka dinamakan beati atau beatae. Seringkali mereka hidup dalam komunitas-komunitas agar dapat melaksanakan panggilan karya kasih mereka secara lebih efektif. Sebagai contoh, di Roma para anggota Ordo III S. Fransiskus mengelola empat buah rumah, di Cortona mereka mengelola Rumah Sakit Belas Kasih; di Florence ada rumah sakit terkenal S. Paulus. Demikian pula di cukup banyak tempat lainnya: Imola, Piacenza, Modena, Reggio Emilia, Paris, Mons di Belgia, Napoli dan banyak tempat lagi.

PERKEMBANGAN ORDO III S. FRANSISKUS DARI ABAD KE-16 SAMPAI DENGAN ABAD KE-18

 

Abad ke-16.
Ternyata penghinaan sistematis yang ditimpakan atas Ordo III tidak berhenti di abad ke-15. Pada paruhan pertama abad ke-16, setelah berakhirnya Konsili Lateran V (1512-1517), pada masa pontifikat Paus Leo X (1513-1521), para anggota Ordo III S. Fransiskus juga kehilangan identitas mereka sebagai ‘religius’ dan ‘pribadi gerejawi’, bersama-sama privilese-privilese yang menyertai status tersebut. Sampai akhir hayatnya S. Yohanes Capistrano (+1456), seorang ahli hukum yang samasekali bukan kelas picisan dengan jelas menyatakan bahwa status para anggota Ordo III adalah terlebih-lebih seperti para ‘religius’ daripada kaum ‘awam’ biasa. Dia mempertimbang-kan para anggota Ordo III sebagai ‘religius’ dalam artiannya yang luas.[2]
Musim semi baru, yang didorong oleh Fransiskus dan eklesiologi communio-nya, telah memberi peran gerejawi yang tepat serta martabat kepada kaum awam.  Namun dengan keputusan Paus Leo X di atas, selesailah semuanya. Sejak saat itu yang dimaksudkan dengan Gereja hanyalah anggota hierarkhi dan para religius dalam artiannya yang ketat; para awam kembali ke posisi kepasifan-mutlak dan ketertundukan. ‘Penurunan derajat’ ini, menurut Sdr. Benedetto Lino OFS, bukanlah didasarkan pada alasan-alasan eklesiologis, melainkan hasil dari kompromi antara para uskup dan para Saudara Dina, dengan Sri Paus yang memainkan peranan sebagai penengah (BL, hal. 16).[3]
Akhir abad ke-16 menjadi saksi ketertundukan mutlak para Pentobat S. Fransiskus terhadap para religius. A. Matanic mengatakan, bahwa abad ke-16 merupakan masa yang paling sulit dan tidak menguntungkan bagi para Fransiskan sekular … the low point in the fortunes of the Franciscan penitence.  Berbagai upaya dilakukan oleh para pentobat untuk memulihkan otonomi mereka, namun setiap kali selalu ditolak oleh para Saudara Dina. Penekanan pada ketaatan terus berlanjut sampai disahkannya AD OFS 1978 oleh Paus Paulus VI (BL, hal. 16). 
Namun ada juga cerita positifnya. Pada akhir abad ke-16 para anggota Ordo III S. Fransiskus menyelenggarakan sebuah kapitel yang dihadiri oleh perwakilan -perwakilan dari banyak provinsi. Hal ini membuktikan bahwa  tidak hanya bentuk organisasi Ordo III S. Fransiskus sudah tertata dengan baik dan kesadaran para anggota bahwa mereka merupakan bagian dari sebuah organisasi besar, melainkan juga betapa luas Ordo III S. Fransiskus ini sudah menyebar, baik di Italia maupun di luar negeri itu (lihat LIA, hal. 489).
Pengaruh Renaissance. Selama dan sesudah Renaissance[4], ciri-ciri Ordo III mengalami perubahan yang sangat nyata. Di Italia, banyak humanis produk Renaissance ini memandang konsep kehidupan para pinzocheri sebagai hambar. Juga di negeri-negeri di mana terjadi reformasi Protestan, yang secara diametris bertentangan dengan ideal Fransiskan. Akan tetapi pada waktu yang kira-kira bersamaan terjadi peningkatan entusiasme terhadap ‘Bala tentara Serafik’ (Ordo III) di Spanyol dan Portugal, di dominion-dominion Spanyol di Eropa – Napoli, Lombardi dan Flanders – dan di Dunia Baru. Dalam masyarakat Spanyol, sempat para raja, uskup, jenderal, orang-orang terpelajar dan artis berpikir bahwa adalah suatu kehormatan untuk memanggil S. Fransiskus sebagai ‘Bapak Serafik kita’. Mereka malah ingin sekali untuk mati mengenakan jubah Fransiskan (LIA, hal. 493).

 

Orang-orang kudus Fransiskan sekular di abad ke-16.
Ordo III dalam abad ke-16 dan abad ke-17 di Eropa mampu menyajikan sebuah daftar tokoh-tokoh penting dan termasyhur, namun relatif sedikit saja orang kudus. Orang kudus yang patut dicatat adalah Santa Angela Merici (+1540), pendiri Ordo Suster-suster Santa Ursula (OSU). Juga Santo Thomas More (+1535), martir Inggris yang patut menjadi teladan setiap negarawan Katolik segala zaman. Akan tetapi di Asia mulai muncul nama-nama para kudus anggota Ordo III, dimulai dengan para martir Nagasaki (+1597). Para misionaris Fransiskan mengorganisir persaudaraan-persaudaraan Ordo III  di Filipina dan Amerika selagi mereka mendirikan gereja-gereja baru di tanah misi. Pada tahun 1586 diperkirakan sudah ada lebih dari 100.000 orang Fransiskan sekular (LIA, hal. 494). 
Abad ke-17. Abad ini menunjukkan kemajuan, terutama karena ada upaya promosi dari berbagai cabang Ordo I, yang memberi tempat bagi promosi sedemikian dalam keputusan-keputusan kapitel mereka dan juga dalam konstitusi-konstitusi mereka, misalnya dalam Kapitel Umum di Toledo (1633). Diakui bahwa Ordo III telah mengalami kemunduran, terutama karena kemasabodohan para religius (Ordo I), sehingga di beberapa provinsi dan bangsa dapat dikatakan sudah lenyap sama sekali. Oleh karena itu dalam restorasi diharuskan untuk mengikuti metode yang dipakai di Spanyol, di mana Ordo III merupakan contoh cemerlang. Banyak buku instruksi diterbitkan dalam bahasa setempat (LIA, hal. 494-495).



Di Italia persaudaraan-persaudaraan Ordo III S. Fransiskus bertumbuh subur di setiap kota. Para pejabat sipil maupun Gereja bangga menjadi anggota Ordo III. Di Spanyol dan Portugal entusiasme mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Philip III dan Philip IV. Di Persaudaraan Lisboa yang didirikan oleh P. Ignatius Garcia mempunyai 11.000 anggota. Di Madrid terdapat 25.000 anggota pada tahun 1689. Di Perancis, para promotor utama Ordo III adalah para Kapusin, yang paling menonjol adalah Joseph du Tremblay, Léonard de Paris, dan Ives de Paris. Di Belgia Ordo III terbatas hanya di kalangan kelas atas dan tidak berhasil menarik minat umat kebanyakan. Di Jerman, Irlandia dan Inggris ada tanggapan yang penuh entusiasme LIA, hal. 495). 
Sdr. Benedetto Lino OFS (BL, hal. 16) juga mencatat, bahwa abad ke-17 ditandai pula dengan persaingan antar-berbagai cabang keluarga Fransiskan untuk menciptakan Ordo Ketiga mereka sendiri-sendiri dan mengkonsolidasi-kan hak-hak mereka sendiri sehubungan dengan ke-‘pemilikan’ atas Ordo III. Pada tahun 1682 Ordo I Conventual menerbitkan ‘konstitusi’ tersendiri (Urbanian Constitutions), sedangkan pada tahun 1686 Ordo I Observant menerbitkan ‘konstitusi’ juga (Innocentian Constitutions). Ini disebut dalam Konstitusi Ecclesiae Catholicae tanggal 28 Juni 1689 dari Paus Innocentius XI (1676-1689). ‘Konstitusi-konstitusi’ tersebut tidak selalu sejalan dengan Anggaran Dasar Paus Nikolaus IV (1289) yang masih berlaku.
Dalam ‘konstitusi-konstitusi’ seperti ini, aspek-aspek tertentu dari devosi diintensifkan, dan ‘konstitusi-konstitusi’ ini menetapkan ketergantungan mutlak Ordo III pada Ordo I. Pertemuan-pertemuan  persaudaraan dipimpin oleh Gardian  atau Visitor dan keputusan-keputusan yang diambil tanpa kehadiran mereka menjadi tidak sah. Segala  macam kepengurusan internal ditiadakan. Tidak ada lagi kapitel-kapitel. Tidak ada lagi kontak antar-persaudaraan. Pemilihan-pemilihan hanya dilakukan oleh Gardian dan tidak lagi dilaksanakan dengan hak pilih universal. ‘Konstitusi-konstitusi’ ini mempunyai kekuatan hukum paling sedikit sampai dikeluarkannya Anggaran Dasar baru dari Paus Leo XIII, dan berlaku sebagian sampai diterbitkannya ‘Konstitusi Umum Ordo Ketiga Awam’ pada tahun 1957 (BL, hal. 16-17).



Salah satu ciri dari Ordo III S. Fransiskus adalah, bahwa keanggotaannya terdiri pribadi yang berasal dari segala kelas, baik dilihat dari sudut status sosial maupun tingkat budaya. Dalam abad ke-17, hal ini hilang sebagian. Ordo III mulai menjadi tempat, terutama bagi puteri-puteri raja dan orang-orang terkemuka dalam masyarakat. Sampai titik tertentu dapat dikatakan terjadi juga diskrimasi terhadap pribadi-pribadi dari kelas sosial yang paling rendah, terutama mereka yang miskin. Orang miskin tidak dapat diterima kecuali diyakini bahwa dia tidak akan menjadi beban bagi persaudaraan. Hal ini terlihat dalam register sebuah persaudaraan di Louvane-Belgia (BL, hal. 17).
Dalam periode ini, para anggota Ordo III terutama berurusan dengan kehidupan religius dan sedikit saja memperhatikan karya belas kasih. Namun, tentunya ada beberapa kekecualian. Sesuai berbagai dokumen yang ada, memang selalu ada saja Saudara atau Saudari anggota Ordo III yang sebagai pribadi terus menonjol dalam karya belas kasih, menolong orang-orang miskin, mempertobatkan para pendosa, mengajar doktrin-doktrin Kristiani (BL, hal. 17).
Dalam periode antara 1600 dan 1700 para anggota Ordo III S. Fransiskus sudah tidak mengenakan jubah pentobat, melainkan hanya memakai skapulir dan tali Fransiskan saja. Jelas hal ini juga sejalan dengan persyaratan para bangsawan dan pejabat pemerintahan yang berkuasa untuk tidak memakai jubah pertobatan (BL, 17).
Ordo III (khususnya di Eropa) terus menurun sampai pertengahan abad ke-19, seperti dapat kita baca dalam petikan di bawah ini yang diambil dari tulisan G. Andreozzi TOR:

 

“The Third Order had been set on a sad path of decline. For some centuries it had been a lifeless trailer being towed, at the mercy of the changeable moods of four tugs, which instead of towing it, caused continuous collisions. Divided with regard to the direction, the habit and the indulgences, devoid of its own head and any drive coming from within.” It is no wonder that by the mid 1800’s, according to Father Fredegando da Anversa, “the Umbria (the land of Saint Francis) the Third Order was almost forgotten.” Evidently the same could be said of other regions. (G. Andreozzi, hal. 211; BL, hal. 17).
Situasi politik Eropa dalam periode 1700 dan 1800 karena pengejaran atas ordo-ordo religius dan Ordo III di Kekaisaran Austria-Hungaria, Perancis, Italia dll. dan keberadaan Protestanisme memainkan peran juga dalam kemunduran Ordo III. Revolusi Industri (1760-1830) dan setelah itu) dan Revolusi Perancis (1789) juga menjauhkan Gereja dari tempat berpijaknya di dunia. Dunia menolak Gereja, namun karena kurang-pengertian Gereja juga menolak dunia. Ratu Maria Theresa dari Austria pada tanggal 15 Juni 1776 mengeluarkan dekrit yang berdampak luas sampai ke luar perbatasan kekaisaran, yaitu bahwa ordo-ordo religius (termasuk Ordo III, karena dipandang akrab berkaitan dengan Ordo I) tidak diperbolehkan menerima anggota baru. Selama pemerintahan Kaisar Joseph II, Ordo Ketiga ditindas pada tanggal 23 September 1782. Hal sama terjadi juga di semua wilayah yang secara politik berhubungan dengan Austria: di Spanyol dan Portugal, di Italia:  Lombardy, Modena, Reggio, Parma, Piacenza dan Tuscany serta Napoli (BL, hal. 18).
Di Perancis, menyusul Revolusi (1789-1799), sikap para penguasa lebih keras lagi dan efeknya juga tidak hanya terbatas di Perancis. Peraturan-peraturan sipil atas para klerus di Perancis (1790) mencakup juga perampasan benda-benda milik Gereja. Persaudaraan-persaudaraan sekular juga tidak dikecualikan dan dalam banyak kasus mereka dibubarkan. Pada puncak pemerintahan teror (1792-1794), ada sejumlah anggota Ordo III Regular maupun Sekular yang juga menjadi korban, misalnya B. Georges Girault TOR yang dibunuh pada tanggal 2 September 1792; Rossa Jessée, Ordo III-Sekular dipenggal kepalanya dengan guillotin di Cambrai; di Nantes ada beberapa orang anggota Ordo III-sekular bersama korban-korban lain juga, yang dibenamkan ke dalam sungai Loire (Bl, hal. 18-19).
Di Perancis, para anggota Ordo III hidup secara tersembunyi. Di Spanyol dan Italia, persaudaraan-persaudaraan masih bisa bertemu secara diam-diam dst. Yang penting untuk ditekankan di sini adalah bagaimana para pentobat itu, walaupun tidak diperkenankan untuk memperoleh bimbingan dari para saudara dina (yang telah diusir oleh berbagai pemerintahan), tetap menunjukkan vitalitas luarbiasa dengan menolak isolasi tersebut, bahkan untuk berabad-abad lamanya, juga dengan menunjukkan teladan hidup dalam melaksanakan karya mereka di bidang agama maupun pelayanan kasih. Bukti-bukti yang bersifat langsung masih ada, misalnya Tiongkok dan Eropa Timur. (BL, hal. 19).


Kemunduran Ordo III di Eropa dikompensasikan oleh pertumbuhannya yang cukup pesat di luar benua Eropa, misalnya di Amerika. Christopher Columbus, sang penemu benua Amerika adalah seorang anggota Ordo III S. Fransiskus. Di Nagasaki, Jepang 17 martir awam berkebangsaan Jepang adalah para anggota Ordo III S. Fransiskus (1597). Tercatat juga bahwa pada akhir abad ke-16 sudah ada lebih dari seribu orang Indian yang menjadi Kristiani dan masuk Ordo III.
Banyak orang Spanyol dan Portugis adalah anggota Ordo III. Bersama para religius mereka mulai membentuk kelompok-kelompok Ordo III S. Fransiskus di benua Amerika: Brasil (Olinda Pernambucco) tahun 1589; Meksiko (Puebla de Los Angeles) tahun 1614; Guetamala tahun 1615; Rio de Janeiro tahun 1619; Mexico City tahun 1625; Colombia (Santa Fè de Bogotà) tahun 1621; Salvador-Bahia Brazil tahun 1635; Venezuela (Caracas) tahun 1643; juga di Ekuador, Peru, Paraguay, Argentina, Kanada dst. Tercatat bahwa pada tahun 1649 Persaudaraan di Mexico City memiliki sekitar 2000 orang anggota. Dalam negeri-negeri di benua Amerika ini keanggotaan dalam Ordo III bervariasi, baik dari sudut kelas sosial, maupun warna kulit atau ras. Ada dokumen-dokumen yang menunjukkan bahwa para anggota Ordo III S. Fransiskus ini menghayati kehidupan rohani yang intens, karya karitatif, mengajar, melayani orang-orang sakit dll. Buktinya adalah, bahwa tidak lama kemudian mereka berhasil menelorkan dua orang kudus, yaitu S. Mariana Jesus de Paredes (+1645) di Quito , Ekuador dan  B. Pedro de Betancur (+1667) di Guatamala. 

PERKEMBANGAN ORDO III S. FRANSISKUS DARI ABAD KE-19 DAN SETERUSNYA 

Paruhan pertama abad ke-19 masih menunjukkan adanya pengejaran di Eropa. Di Perancis, misalnya pada periode Napoleon (1804-1814), ordo-ordo termasuk Ordo III masih mengalami kesulitan. Namun perubahan ke arah yang baik terjadi pada akhir abad ke-19.

 

Ada sebuah fakta yang menggembirakan: Begitu selamat dan kembali dari pengejaran, para saudara dina (termasuk TOR tentunya) yang ditugaskan untuk ‘menangani’ persaudaraan Ordo III melakukan banyak kegiatan untuk menggiatkan/menghidupkan kembali persaudaraan Ordo III yang sempat ditinggalkan mereka karena pengejaran. Jelas kelihatan di sini bahwa para saudara dina menemukan kembali minat atas Ordo III. Ada dua faktor menentukan di belakang semua ini: (1) Ada hasrat di pihak kaum religius ini untuk membuat kontribusi pada rekonstruksi masyarakat Kristiani yang sudah berantakan (dan ini pada hakekatnya adalah tugas para Fransiskan sekular), dan (2) adanya dorongan kuat dan Paus Pius IX (1846-1878) yang adalah seorang anggota Ordo III Sekular S. Fransiskus (BL, hal. 19).
Paus Pius IX menyerukan kepada para saudara dina: “Promosikan, promosikanlah Ordo III. Anda tidak dapat membayangkan jumlah kebaikan yang ditakdirkan untuk dihasilkan oleh mereka”. Paus Pius IX adalah yang pertama dari tujuh orang Paus berturut-turut yang adalah anggota Ordo III (Sekular) S. Fransiskus. Inilah mereka: Paus Leo XIII (1878-1903), Paus Pius X (1903-1914), Paus Benediktus XV (1914-1922), Paus Pius XI (1922-1939), Paus Pius XII (1939-1958), dan Paus Yohanes XXIII (1958-1963) (Lihat BL, hal. 19 dan MB, hal. 938).



Sejak saat itu, Takhta Suci memegang sebuah peranan yang hakiki dan profetis dalam penemuan kembali atas sifat, misi dan kharisma Ordo Fransiskan Sekular. Diketemukannya kuburan S. Fransiskus pada tahun 1818 merupakan simbol, menurut Sdr. Benedetto Lino OFS, dari kedatangan kembali Santo Fransiskus (BL, hal. 19). Restorasi dan reorganisasi dalam berbagai keluarga Ordo I dan II setelah periode revolusi dan era Napoleon harus dilihat dengan latar belakang ini. Juga kebangkitan minat dalam aspek-aspek sosial dan budaya dari Fransiskanisme dengan sumbangan-sumbangan hakiki dari sejumlah ahli, antara lain Frederick Ozanam (pendiri Serikat Vincentius) dan Paul Sabatier (seorang Kristen Protestan).
Kebangkitan sesungguhnya adalah dengan diakuinya novitas dan kualitas-kualitas dari pengalaman Injili Fransiskus, dan signifikansi orang ini untuk zaman modern, serta terungkapkannya kebutuhan untuk memperbaharui, satu dan lainnya, semangat minoritas, persaudaraan, membuat perdamaian. Doa yang dirumuskan oleh Paus Pius IX pada tanggal 8 Maret 1857 di depan makam Santo Fransiskus mengungkapkan kebangunan/kebangkitan ini dengan baik. Dia mohon kepada sang Santo: “untuk melakukan syafaat/ pengantaraan bagi dunia zaman ini yang begitu pelupa akan hal-hal yang bersifat supernatural dan sudah tersesat dalam hal-hal materiil” ……… “Teladanmu telah berhasil memberikan inspirasi kepada orang-orang di waktu lampau, dan dengan menyarankan pemikiran-pemikiran yang mulia dan agung dalam diri mereka, telah menghasilkan suatu pembalikan, suatu pembaharuan dan suatu reformasi sejati” (BL, hal. 19).

 

Catatan singkat mengenai masa pontifikat Paus Leo XIII (1878-1903).
[Catatan: Uraian dalam bagian ini diambil dari tulisan Sdr. Benedetto Lino OFS yang mengambil sepenuhnya dari G. Andreozzi TOR, BL, hal. 20]. Kardinal Gioacchino Pecci, Uskup Agung Perugia  adalah seorang pendukung  yang penuh keyakinan, penuh entusiasme dan kuat dari ide perlunya peranan Ordo III bagi masyarakat zamannya. Surat Pastoral Natal 1871 Uskup Agung ini merupakan himbauan penuh semangat kepada para Pastornya untuk membentuk persaudaraan-persaudaraan Ordo Ketiga di mana-mana. Bapak Uskup Agung sendiri memberi contoh dengan masuk menjadi anggota persaudaraan Ordo III Sekular S. Fransiskus di Monteripido, Perugia. Pada tahun 1875 dalam ceramahnya di depan para peziarah di Assisi, dan pada tahun 1877, dalam sepucuk Surat Pastoral lainnya, Kardinal Pecci mengungkapkan keyakinannya bahwa hanya Ordo Ketigalah yang dapat menyelamatkan masyarakat yang menderita karena begitu banyak masalah pribadi dan sosial, dengan catatan apabila dihayati dengan semangat sejati.
Begitu menjadi Paus Leo XIII, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk memuji dan mempromosikan Ordo III Fransiskan. Bilamana berbicara dengan para Uskup, Sri Paus mengulang-ulangi untuk bergabung dan mempunyai sebanyak mungkin umat untuk bergabung ke dalam Ordo III Fransiskan. Kesempatan terbaik di mana Sri Paus meninggikan S. Fransiskus dan mengundang semua orang untuk mengikutinya adalah pada peringatan tujuh abad kelahiran S. Fransiskus. Pada tanggal 17 September 1882 Paus Leo XIII menerbitkan Ensikliknya yang terkenal, Auspicato concessum. Tugas yang mau dipercayakan Sri Paus kepada Ordo III tidak ringan, yaitu menjadi batu fondasi dari perbaikan sosial Kristiani yang besar. Untuk mencapai hal ini, Ordo III harus lebih fleksibel, lebih aktif dan lebih berdisiplin, lebih tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan terkini. Atas dasar alasan inilah Sri Paus menerbitkan Konstitusi Misericors Dei Filius pada tanggal 30 Mei 1883. Anggaran Dasar Nikolaus IV tidak dibatalkan dengan peraturan yang baru ini, hanya disederhanakan dan dipersingkat dengan memodifikasikan beberapa bab agar supaya lebih cocok dengan keadaan: to better adapt the old laws to the modern way of life. 
Perkembangan selanjutnya sampai diterbitkannya AD OFS 1978 sudah dibahas dalam sesi sebelum ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN 
  1. Lazaro Iriarte de Aspurz OFMCap. (Translated  from the Spanish by Patricia Ross), FRANCISCAN HISTORY: THE THREE ORDERS OF ST. FRANCIS OF ASSISI (asli: HISTORIA FRANCISCANA), Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1983. [LIA]
  2. Santo Bonaventura (terjemahan Pater Y. Wahyosudibyo OFM), Jakarta: Sekafi, Januari 1990. [LegMaj]
  3. Matthew Bunson, OUR SUNDAY VISITOR’S ENCYCLOPEDIA OF CATHOLIC HISTORY, Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, Inc., 1995. [MB]
  4. Thomas dari Celano (terjemahan Pater J. Wahjasudibja OFM), ST. FRANSISKUS DARI ASISI, Jakarta: Sekafi, Oktober 1981. [1Cel dan 2Cel]
  5. FIORETTI DAN LIMA RENUNGAN TENTANG STIGMATA SUCI [Saduran bebas dari buku THE LITTLE FLOWERS OF SAINT FRANCIS WITH FIVE CONSIDERATIONS ON THE SACRED STIGMATA by Leo Sherley-Price] Jakarta: Sekafi, 1997 (Cetakan Pertama). [Fioretti]
  6. Vincenzo Frezza OFMCap. (Translated from the Italian L’Evangelica Forma di Vita by Diego Sequeira OFMCap.), THE GOSPEL WAY OF LIFE, Manila, Philippines: Secular Franciscan Order of the Philippines, 1991. [VF]
  7. Marion A. Habig OFM (Editor), ST. FRANCIS OF ASSISI – WRITINGS AND EARLY BIOGRAPHIES – English Omnibus of the Sources for the Life of St. Francis, Quincy, Illinois: Franciscan Press – Quincy College, 1991 (4th Revised Edition). [OMNIBUS]
  8. Vicente Kunrath OFM, SEJARAH OFS, disusun dalam rangka pembinaan para anggota OFS Persaudaraan Santo Ludovikus IX, Jakarta, Yogyakarta: 13 September 1997. [7 halaman]. [VK]
  9. Leo Laba Ladjar OFM (Penerjemah, pemberi Pengantar dan Catatan), KARYA-KARYA FRANSISKUS, Jakarta: Sekafi, 2001 (Cetakan pertama setelah pembaruan tahun 2001).
  10. Benedetto Lino OFS, THE HISTORY OF THE SECULAR FRANCISCAN ORDER AND OF ITS RULE dalam FORMATION MANUAL FOR FORMATORS FOR INITIAL FORMATION, CIOFS PRESIDENCY, 2008. [BL]
  11. Raffaele Pazzelli TOR (Translated from the Italian by the author), ST. FRANCIS AND THE THIRD ORDER – THE FRANCISCAN AND PRE-FRANCISCAN PENITENTIAL MOVEMENT (asli: SAN FRANCESCO E IL TERZ’ORDINE: IL MOVIMENTO PENITENZIALE),  Chicago, Illinois: Franciscan Herald Press, 1989. [RP]
  12. Robert M. Stewart OFM, “DE ILLIS QUI FACIUNT PENITENTIAM” – THE RULE OF THE SECULAR FRANCISCAN ORDER: ORIGINS, DEVELOPMENT, INTERPRETATION, Roma, Italia: INTITUTO STORICO DEI CAPPUCCINI, 1991. [RS] 
Cilandak, 23 Juni 2010 [Peringatan Santo Yosephus Cafasso, Imam]
Perbaikan terakhir: 28 Juli 2010
Penyusun: Sdr. F.X. Indrapradja, OFS
[1] Gabriele Andreozzi TOR, Storia  delle regole a delle Costituzioni dell’Ordine Francescano Secolare, Ed. Guerra, 1988, hal. 133. (lihat BL, hal. 14).
[2] Pada zaman Fransiskus, para religius adalah orang-orang yang membuat suatu komitment religius yang baru dalam hidupnya, di atas segala kewajiban-kewajiban yang datang bersama pembaptisan, dan hal itu tidak perlu hanya berlaku pada mereka yang hidup seturut norma-norma atau suatu skema untuk para regular (pertapa, kanon regular, rahib dan hidup apostolik religius). Oleh karena itu seorang religius bukanlah seseorang yang mengucapkan kaul klasik, melainkan seorang pribadi yang membuat suatu profesi seturut suatu peraturan hidup religius yang telah disetujui (Gereja). Seorang pribadi gerejawi (ecclesiastical person) adalah seorang pribadi yang bukan subjek dari ‘yurisdiksi sipil’, melainkan langsung berada di bawah ‘yurisdiksi Gereja’ (BL, hal. 15).
[3] Sekarang kita semua sadar bahwa status kita sebagai awam dan sekular merupakan unsur konstitutif dan hakiki dari keberadaan kita sebagai Fransiskan sekular, ‘to be what we must be’ agar dapat mencapai rencana yang telah dipercayakan Allah kepada Fransiskus dan keluarganya (BL, hal. 16).
[4] Renaissance adalah periode dalam sejarah Eropa antara sekitar tahun 1300an sampai tahun 1500an. Ini adalah salah satu periode paling signifikan dalam sejarah Barat. Renaissance dipandang sebagai suatu transisi utama dari zaman/abad pertengahan ke dunia modern. Periode ini dapat dicirikan dengan bertumbuh-kembangnya atau kelahiran kembali dalam capaian-capaian di bidang budaya dan intelektual, namun juga membawa  perkembangan  ekstensif dalam bidang ekonomi, politik dan kehidupan ilmiah. Juga membawa dampak kepada kehidupan religius yang masih terasa dalam Gereja sampai sekarang. Dalam jangka waktu pendek, Renaissance menghasilkan kecenderungan-kecenderungan humanis, pengurangan tekanan pada aspek agama dalam kegiatan sehari-hari seseorang. Juga penciptaan iklim di Eropa Utara yang akan menjadi pendorong terjadinya Reformasi Protestan  (lihat  MB, hal. 717).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar